Ketika Hadis Dijadikan Alat Politik dalam Sejarah Peradaban Islam
KRAMAT49 NEWS, LOS ANGLES—Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Amerika Serikat melakukan kajian bedah buku. Buku yang dikaji berjudul Hadith: Muhammad’s Legacy in the Medievel and Modern World karya Jonathan Brown—pakar hadis dari Georgetown University, Amerika Serikat. Salah satu bagian yang disorot dalam kajian tersebut ialah Bab VIII tentang “The Function Of Prophetic Traditions In Politics” atau fungsi hadis dalam politik.
Muhamad Rofiq Muzakkir selaku pembedah mengatakan salah satu hadis yang berkaitan erat dengan politik ialah Sabda Rasulullah Saw bahwasannya pemimpin harus dari kalangan Quraisy (al-aimmah min Quraisy). Akibat hadis ini, dari era Kenabian, dilanjutkan fase Khulafaur Rasyidun sampai Bani Umayyah hingga berakhirnya Kekhilafahan Abbasiyah, semuanya dipimpin oleh suku Quraisy. Kepemimpinan Bani Quraisy baru berakhir pada tahun 1517 M ketika bangsa Turki datang menaklukan kekhalifahan Abbasiyah yang telah berpusat di Kairo.
“Pasca serangan bangsa Mongol, pusat pemerintahan Abbasiyah telah berpindah dari Baghdad ke Kairo. Pada saat itulah, Ottoman datang dan menghilangkan fungsi khalifah dari dinasti Abbasiyah dan para Sultan Ottoman mendeklarasikan dirinya bahwa sejak saat itu merekalah khalifah,” ujar mahasiswa doktoral Arizona State University ini pada Senin (24/01).
Para ulama telah berdebat hebat mengenai keharusan pemimpin dari bangsa Quraisy. Imam An Nawawi yang hidup pada Dinasti Mamluk berpendapat bahwa telah menjadi ijma di kalangan Sahabat Nabi Saw bahwa khalifah harus dipegang oleh seorang Quraisy. Sementara itu, Imam Al Juwayni yang tinggal di Naisabur menerima khalifah non-Arab dengan alasan hadis al-aimmah min Quraisy statusnya ahad. Pada tahun 1544, ulama besar Ottoman Lutfi Pasha berpendapat bahwa khalifah harus Arab Quraisy hanya untuk periode awal saja.
Selain hadis tentang pemimpin harus dari kalangan Quraisy, isu kedua yang disorot dalam buku Jonathan Brown ini adalah pertarungan para pengguna hadis pada periode Arab Spring. Selama periode Arab Spring yang meletus tahun 2011, masyarakat Mesir berbondong-bondong turun ke jalan dengan satu harapan: memulai transisi dari negara dengan sistem monarki menuju sistem demokrasi. Di antara para demonstran yang turun ke jalan maupun para pendukung kekuasaan tiran berbekal justifikasi teologis yang terdapat dalam hadis-hadis Nabi Saw.
Salah satu hadis yang digunakan sebagai justifikasi para demonstran pada periode Arab Spring berbunyi: “sebaik-baiknya jihad ialah mengucapkan kalimat menuntut keadilan di hadapan seorang sultan pemegang kekuasaan negara yang menyeleweng”. Namun di pihak yang bersebrangan, para ulama yang mendukung penguasa otoriter menggunakan hadis Nabi Saw yang lain, misalnya berbunyi: “dengarkan dan taati pemimpinmu, sekalipun kamu disiksa dan hartamu dirampas, pokoknnya dengarkan dan taati pemimpinmu”.
Akan tetapi, ketika Ikhwanul Muslimin sebagai bagian dari penentang kekuasaan tiran berhasil mengangkat Mohammad Morsi menjadi presiden pertama yang sah secara demokratis, kelompok posisi Mesir kemudian mengeluarkan beberapa dalih kenapa Morsi ‘pantas’ diturunkan. Selain kegagalan mengelola ekonomi dan distribusi kekuasaan hanya pada kelompok tertentu saja menjadi alasan, mereka juga seakan melupakan hadis tentang ‘taat kepada pemimpin’ yang pernah mereka lontarkan ketika periode Arab Spring.
“Jonathan Brown di sini memberikan catatan bahwa dalam sejarah Islam, sunni—bukan syiah, bukan muktazilah—cenderung quietist alias pasif, sementara mazhab Syiah Zaydi yang cenderung revolusioner against the tyranny,” ungkap anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah ini.
Dua isu di atas merupakan gambaran yang ditampilakan Jonathan Brown tentang bagaimana hadis dapat berfungsi dalam politik. Hal tersebut barangkali tidak terlalu mengagetkan bila mengingat salah satu aspek yang menyebabkan terjalinnya hubungan hadis dan politik adalah aspek historis. Sejak Rasulullah SAW masih hidup, beliau memegang dua otoritas sekaligus yakni pemimpin agama dan negara.
sumber Muhammadiyah