
Keluarga Berencana (KB) Menurut Majelis Tarjih Muhammadiyah
Kramat49, Salah satu aspek penting yang sering luput dari perhatian adalah pengaturan jarak kelahiran anak. Jarak kelahiran yang ideal merupakan ikhtiar untuk memastikan anak-anak tumbuh sehat, beriman, dan mendapatkan kasih sayang yang utuh dari kedua orang tua.
Dalam pandangan Islam, pengaturan jarak kelahiran bukanlah hal yang bertentangan dengan syariat, melainkan sebuah bentuk tanggung jawab moral dan spiritual yang selaras dengan firman Allah Swt.
Al-Qur’an memberikan petunjuk yang jelas mengenai pentingnya memerhatikan kesejahteraan anak. Petunjut tersebut telah disampaikan dalam Surah an-Nisa: 9: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”.
Ayat tersebut mengingatkan tentang tanggung jawab memastikan anak-anak tidak ditinggalkan dalam keadaan lemah, baik secara fisik, mental, maupun spiritual. Jarak kelahiran yang terlalu dekat dapat menghambat perhatian ibu kepada anak yang lebih tua. Dengan begitu dapat turut berimplikasi pada terganggunya tumbuh kembang si anak.
Baca Juga: Nikah Sirri dalam Perspektif Hadits Nabi
Oleh karena itu, mengatur jarak kelahiran menjadi salah satu wujud ketaatan kepada perintah Allah untuk menjaga amanah keturunan. Al-Qur’an dalam Surah al-Ahqaf ayat 15: “Dan Kami telah perintahkan manusia agar berbuat baik terhadap kedua orang tuanya. Ibunya yang telah mengandungnya dengan derita dan melahirkan dengan derita, lama mengandungnya dan melepaskannya dari susuan adalah tiga puluh bulan”.
Ayat ini menegaskan bahwa masa kehamilan dan penyusuan adalah periode penuh pengorbanan bagi seorang ibu. Pengorbanan ini tidak hanya menuntut ketahanan fisik, tetapi juga kesiapan emosional dan spiritual.
Dengan demikian, memberikan jeda yang cukup sebelum kehamilan berikutnya adalah bentuk penghormatan terhadap perjuangan seorang ibu, sekaligus memastikan anak yang telah lahir mendapatkan perhatian penuh selama masa-masa krusial pertumbuhannya.
Baca Juga: Cara Memilih Pasangan yang Tepat dalam Islam
Pengaturan jarak kelahiran juga mendapatkan legitimasi dari keputusan tarjih Muhammadiyah pada tahun 1968 di Sidoarjo. Dalam keputusan tersebut, keluarga berencana dibolehkan dalam kondisi darurat dengan syarat adanya persetujuan suami-istri dan tidak menimbulkan mudarat, baik secara jasmani maupun rohani.
Kriteria darurat mencakup kekhawatiran akan keselamatan jiwa atau kesehatan ibu, sebagaimana ditegaskan dalam Surah al-Baqarah ayat 195: “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan”.
Selain itu, Surah an-Nisa ayat 29 menegaskan: “Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.
Dalam praktiknya, pengaturan jarak kelahiran memerlukan pengetahuan yang memadai tentang metode keluarga berencana, mulai dari yang sederhana hingga penggunaan alat kontrasepsi yang sesuai dengan syariat.
Konsultasi dengan ahli kesehatan dan ahli agama menjadi langkah penting untuk memastikan keputusan yang diambil tidak hanya berdasarkan kebutuhan duniawi, tetapi juga selaras dengan kehendak Allah.
Pada akhirnya, mengatur jarak kelahiran adalah wujud kasih sayang kepada anak, penghormatan kepada ibu, dan ketaatan kepada Allah Swt. Tindakan tersebut merupakan bentuk upaya harmonisasi antara tanggung jawab sebagai hamba dan kasih sayang sebagai orang tua.(*)