
Bid’ah dalam Perspektif Muhammadiyah
Kramat49-Jakarta, Dalam menjalani aktivitas beribadah, tidak jarang kita mendengar istilah “Bid’ah” yang perlu dihindari.
Dalam Muhammadiyah ini, Bid’ah termasuk salah satu aktivitas yang dilarang. Oleh masyarakat Muhammadiyah ini umum dikenal bergandengan dengan aktivitas serupa hingga memiliki sebutan TBC (Takhayul, Bid’ah, dan Churafat).
Dilansir dari muhammadiyah.or.id., kata “Bid’ah” secara bahasa berasal dari kata Arab “al-bida”. Kata tersebut merujuk pada penciptaan sesuatu yang baru, tanpa ada contoh sebelumnya.
Imam As-Syatiby, dalam Al-I’tisham, mendefinisikannya sebagai jalan atau cara dalam agama yang dibuat-buat, menyerupai ajaran syariat, dengan maksud berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Swt.
Sebuah hadis yang sering dikutip terkait persoalan tersebut adalah sabda Rasulullah Saw., “Setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka”.
Imam Nawawi, dalam Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, menegaskan bahwa lafadz “kullu” (setiap) dalam hadis ini bersifat umum, akan tetapi bermakna khusus, merujuk pada sebagian besar bid’ah. Dengan kata lain, tidak semua bid’ah adalah sesat; ada ruang untuk pengecualian.
Ibnu Hajar Al-Asqalani, dalam Fathu al-Bari, menambahkan bahwa bid’ah yang sesat adalah yang tidak memiliki dalil dari syariat, baik secara umum maupun khusus. Inovasi yang selaras dengan semangat syariat, dengan demikian, dapat diterima.
Baca Juga: Islam dan Pembiasaan Bersikap Sewajarnya
Untuk memahami batasan ini, kita dapat menilik teladan Rasulullah Saw. dalam menyikapi perbuatan baru para sahabat.
Ketika Usman bin Mazh’un berniat tabattul atau membujang seumur hidup demi ibadah. Namun Rasulullah melarangnya dengan menegaskan, sunnah menikah adalah jalan yang lebih seimbang.
Nabi Muhammad Saw. juga membenci sikap berlebihan dalam ibadah. Khususnya yang dapat mengganggu harmoni kehidupan.
Di sisi lain, Rasulullah Saw. memperbolehkan inovasi yang tidak menyimpang. Contohnya, saat Bilal bin Rabah berwudu setiap kali batal sebagai komitmen pribadi. Rasulullah Saw. tidak melarangnya.
Setelah wafatnya Rasulullah Saw., para sahabat melanjutkan semangat ini dengan perbuatan baru yang kini menjadi pilar tradisi Islam. Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq mengumpulkan Al-Qur’an untuk menjaga keutuhan wahyu Allah Swt.
Umar bin Khattab menginisiasi salat tarawih berjamaah. Kini aktivitas tersebut menjadi tradisi Ramadan yang tak terpisahkan. Inovasi-inovasi ini diterima karena berpijak pada prinsip syariat dan bertujuan untuk kemaslahatan umat.
Baca Juga: Takwa Sebagai Tali Pedoman Hidup
Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah sendiri menawarkan pandangan yang tegas dan terukur tentang bid’ah.
Menurut fatwanya, bid’ah adalah perbuatan atau perkataan yang dianggap sebagai ibadah ritual (umur ta’abbudiy) yang baru, tanpa perintah atau contoh dari Rasulullah Saw.
Bid’ah tidak mencakup urusan duniawi, seperti teknologi atau administrasi. Semua ibadah ritual harus berlandaskan nash-nash yang shahih, seperti: salat, zakat, puasa, dan haji yang telah dijelaskan tata caranya oleh syariat.
Diskursus tentang bid’ah mengajarkan kita untuk bersikap bijak: tidak terburu-buru menghakimi setiap hal baru sebagai sesat, namun juga tidak sembarangan menerima inovasi tanpa landasan.
Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang membuat perkara baru dalam agama kami yang bukan darinya, maka perkara itu tertolak”.
Kuncinya adalah memastikan bahwa setiap inovasi berakar pada Al-Qur’an, Sunnah, atau prinsip syariat.
Dengan pendekatan ini, umat Islam dapat terus berinovasi menghadapi tantangan zaman tanpa kehilangan jati diri keimanan.
Bid’ah adalah cermin dinamika kehidupan umat islam di setiap masanya. Sifatnya bisa menjadi penyimpangan jika tak berdasar, tetapi juga dapat menghadirkan kebajikan jika selaras dengan syariat.(*)