
Adab Ketika Mendapat Undangan Tahlilan
Kramat49, Kita tentu saja tidak asing dengan kegiatan tahlilan bukan?. Kegiatan ini umum dilakukan di tengah masyarakat sebagai bagian dari seremoni berkabung dan/atau bagian dari rangkaian seremoni lainnya.
Secara harfiah, merujuk pada pembacaan kalimat la ilaha illa Allah atau dzikir untuk mengingat Allah.
Dalam ajaran Islam sendiri, tahlil merupakan amalan yang sangat dianjurkan. Anjuran tersebut telah tertuang dalam Surah Al-Baqarah: 152, “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari nikmat-Ku”.
Ayat tersebut menegaskan pentingnya dzikir sebagai wujud ketaatan dan syukur kepada Allah. Selain itu, keutamaan dzikir dengan menyebut la ilaha illa Allah juga dijelaskan dalam sabda Rasulullah Saw.: “Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa mengucapkan la ilaha illa Allahu wahdahu la syarika lahu lahul-mulku wa lahul-hamdu wa huwa ‘ala kulli syai`in qadir sebanyak seratus kali dalam sehari, maka itu setara dengan memerdekakan sepuluh budak, dicatatkan seratus kebaikan, dihapuskan seratus kejahatan, dan menjadi perisai dari setan hingga petang. Tidak ada yang lebih utama dari amalan ini kecuali orang yang melakukan lebih banyak. Dan barang siapa mengucapkan subhanallah wa bihamdih sebanyak seratus kali dalam sehari, dosa-dosanya dihapus meskipun sebanyak buih di lautan” [H.R. Muslim, Kitab az-Zikr, Bab Fadlut-Tahlil, No. 28/2691].
Hadis ini menegaskan, dzikir hadir dengan memiliki nilai ibadah yang luar biasa, bahkan mampu menghapus dosa dan melindungi pelakunya dari godaan setan.
Baca Juga: Lima Ciri Manusia Dicintai Allah
Namun, dalam konteks masyarakat Indonesia, tahlilan sering dipahami sebagai ritual keagamaan untuk mendoakan orang yang meninggal. Termasuk melibatkan pembacaan tawasul dan surah-surah Al-Qur’an lain, seperti: Yasin, dzikir, dan ditutup dengan doa.
Praktik ini tentu saja memunculkan perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian menganggapnya sebagai amalan yang baik. Sementara sebagian lain, seperti Muhammadiyah, memandangnya tidak memiliki dasar yang kuat dalam syariat. Khususnya terkait pada pelaksanaannya yang dilangsungkan di tempat kematian.
Sikap paling ideal yang dapat dilakukan dengan meminta izin untuk tidak menghadiri kegiatan tersebut. Kemudian, menjelaskan secara perlahan jika paham agama yang diyakini tidak membolehkan praktik tahlilan untuk kematian.
Sikap ini mencerminkan keteguhan dalam memegang prinsip agama, sekaligus menunjukkan ketaatan pada ajaran yang diyakini benar dengan mengutarakan penolakan dengan santun dan perlahan.
Jika situasi tidak memungkinkan untuk menolak undangan, misalnya karena alasan sosial atau untuk menjaga hubungan baik dengan tuan rumah, seseorang dapat menghadiri acara tahlilan. Namun bersikap pasif selama kegiatan berlangsung.
Kehadiran dalam kapasitas ini lebih sebagai bentuk penghormatan kepada yang mengundang, bukan pengakuan terhadap ritualnya. Namun, cara pertama tetap lebih diutamakan karena lebih konsisten dengan prinsip agama.
Baca Juga: Muslim Yang Menentramkan
Alternatif lain untuk menghindar dari undangan tahlilan adalah melalui cara yang persuasif. Contohnya dengan dekati seseorang yang dipercaya atau memiliki pengaruh di lingkungan penyelenggara tahlilan, lalu jelaskan dengan santun paham agama yang kita anut terkait tahlilan.
Misalnya, sampaikan bahwa kita menghormati tradisi tersebut, tetapi keyakinan kita lebih mengutamakan doa pribadi atau amalan lain untuk mendoakan almarhum.
Orang tersebut dapat diminta untuk menyampaikan penjelasan kita kepada pihak penyelenggara, sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman atau menyakiti perasaan.
Pendekatan ini tidak hanya membantu kita menghindari tahlilan, tetapi juga membuka ruang dialog untuk memberikan pemahaman tentang pandangan agama yang kita pegang.
Dengan komunikasi yang bijak dan santun, perbedaan pandangan dapat dikelola tanpa menimbulkan konflik. Sesuai dengan yang diajarkan dalam Islam, menjaga silaturahmi dan harmoni sosial adalah nilai luhur. Namun tidak boleh mengorbankan prinsip keimanan yang diyakini benar.(*)