Hukum Islam

Hukum Melaksanakan Ibadah Haji dengan Dibiayai oleh Orang Lain

Kramat49-Jakarta, Musim haji semakin dekat, para jamaah yang akan berangkat beribadah ke tanah suci sudah mulai mempersiapkan segala keperluan untuk pemberangkatannya.

Seperti yang umum diketahui, ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam. Namun, perlu diingat kembali bahwa sejatinya ibadah haji ini ditunaikan dengan konsep istithaa’ah atau kemampuan.

Pertanyaan yang muncul kemudian, bagaimana jika pelaksanaan ibadah tersebut dibiayai oleh orang lain?

Dilansir dari muhammadiyah.or.id., Al-Qur’an sudah menegaskan syarat kemampuan sebagai prasyarat wajibnya haji.

Syarat tersebut tertulis dalam surah Ali Imran ayat 97: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup (mampu) mengadakan perjalanan kepadanya.”

Dalam ayat tersebut, kata istathaa’a ilaihi sabiila (mampu mengadakan perjalanan) menjadi inti pembahasan. Setidaknya menurut para mufassir dan fuqaha, istathaa’a tersebut mencakup tiga dimensi utama, yakni: badaniyyah (fisik), maliyyah (keuangan), dan maniyyah (keamanan).

Pertama, istithaa’ah badaniyyah menekankan pentingnya kesehatan dan kekuatan fisik. Orang yang lemah karena usia tua atau sakit berat tidak diwajibkan menunaikan haji, karena ibadah ini menuntut ketahanan fisik untuk menjalani rangkaian ritual yang panjang.

Kedua, istithaa’ah maliyyah merujuk pada kemampuan keuangan, yaitu memiliki bekal untuk perjalanan haji serta cukup untuk menjamin kehidupan keluarga yang ditinggalkan.

Ketiga, istithaa’ah maniyyah menyangkut keamanan selama perjalanan, yang bagi wanita mencakup keharusan ditemani mahram.

Baca Juga: Kata Akal dalam Al Quran Menunjukkan Umat Islam Harus Terus Berpikir

Konsep istithaa’ah maliyyah menjadi sorotan utama dalam konteks haji yang dibiayai orang lain. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ad-Daraquthny dari para sahabat seperti Jabir, Ibnu Umar, dan Aisyah, Rasulullah SAW ditanya tentang makna sabiila dalam ayat di atas. Beliau menjawab: azzaad warraahilah, artinya “bekal dan kendaraan.”

Hadis serupa dari At-Tirmidzi, yang diklasifikasikan sebagai hadis hasan, menyebutkan jawaban yang sama dari Rasulullah ketika seorang sahabat bertanya tentang apa yang mewajibkan haji.

Namun, nyatanya syariat tidak secara eksplisit mensyaratkan bahwa bekal haji harus dari hasil jerih payah sendiri. Hal yang perlu diperhatikan secara saksama adalah kehalalan bekal tersebut.

Dalam sebuah riwayat dari Ath-Thabarany dalam Al-Ausath, Rasulullah SAW menyatakan bahwa seseorang yang menunaikan haji dengan bekal halal akan mendapat doa kebaikan agar hajinya menjadi mabrur.

Sebaliknya, orang yang berhaji dengan bekal haram akan mendapat laknat, dan hajinya tidak diterima sebagai haji mabrur.

Baca Juga: Takwa Sebagai Tali Pedoman Hidup

Pemberian biaya haji dari orang lain, termasuk dari orang tua, dianggap halal selama diberikan dengan ikhlas dan tanpa paksaan atau motif yang bertentangan dengan syariat.

Dalam tradisi Islam, pemberian seperti ini bahkan dipandang sebagai bentuk kebajikan, terutama jika orang tua dengan tulus ingin membantu anaknya menunaikan ibadah haji.

Hal ini sejalan dengan prinsip umum dalam Islam bahwa segala bentuk ibadah yang bertujuan taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah) harus dilakukan dengan cara yang halal dan sesuai perintah Allah.

Hal tersebut telah disampaikan dalam surat Al-Baqarah ayat 267: “Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik.”

Namun, penting untuk memastikan bahwa pemberian tersebut tidak disertai motif yang meragukan, seperti tekanan atau ekspektasi duniawi, yang dapat mengurangi keikhlasan ibadah.(*)

Related Articles

Check Also
Close
Back to top button