
Kamu Kecanduan Gadget?, Cek Disini yang Kamu Butuhkan!
Kramat49, Kemajuan teknologi sungguh menawarkan kesenangan instan di ujung jari kita. Situasi tersebut mengarahkan pada sebuah paradoks: sumber kebahagiaan yang tak terbatas, sering kali membawa dampak buruk bagi kesehatan mental.
Data menunjukkan bahwa tingkat depresi, kecemasan, kesepian, bahkan bunuh diri meningkat di kalangan generasi muda.
Salah satu pemicu utama yang kini menjadi sorotan adalah media sosial, yang tidak hanya mengubah perilaku, tetapi juga “membajak” otak melalui pelepasan dopamin yang tidak terkendali.
Dopamin sendiri adalah neurotransmiter yang bertugas menyampaikan sinyal kebahagiaan di otak. Secara alamiah, dopamin diproduksi saat manusia melakukan aktivitas yang bermanfaat, seperti: berolahraga, mencapai suatu tujuan, atau menjalin hubungan sosial.
Namun, di era digital saat ini dopamin juga dapat dipicu dari aktivitas negatif, seperti: scrolling media sosial, bermain game tanpa batas, atau konsumsi konten yang merusak pikiran.
Dalam sebuah penelitian menunjukkan, 95% remaja menggunakan media sosial, dengan lebih dari sepertiga di antaranya mengaksesnya secara konstan. Secara rerata mereka menghabiskan tiga setengah jam sehari di aplikasi tersebut.
Baca Juga: Menggedor Daya Saing Ekonomi Melalui Transformasi Digital
Hal ini meningkatkan risiko gejala depresi dan kecemasan. Ketika seseorang terus-menerus mencari kesenangan instan melalui notifikasi atau like, otak mengalami lonjakan dopamin yang cepat.
Namun, setelah puncak kenikmatan itu reda, kadar dopamin akan turun secara drastis di bawah level normal. Kemudian menciptakan defisit yang memicu kecemasan, kurangnya motivasi, hingga perilaku adiktif.
Sejatinya, Allah Swt. telah mengingatkan kita untuk menjaga keseimbangan dalam hidup, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Baqarah ayat 143, “Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu sebagai umat yang pertengahan (seimbang) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia…”.
Keseimbangan adalah prinsip utama dalam Islam. Ketergantungan pada kesenangan instan (seperti yang ditawarkan media sosial) dapat mengganggu keseimbangan ini. Termasuk, menjauhkan kita dari tujuan hidup yang lebih bermakna.
Dopamin yang stabil memberikan banyak manfaat, seperti suasana hati yang baik, kemampuan mengelola stres, serta motivasi untuk mencapai tujuan. Sebaliknya, ketidakseimbangan dopamin, baik kelebihan maupun kekurangan, dapat menyebabkan gangguan mood, kurangnya produktivitas, insomnia, hingga kecanduan.
Pemicu dopamin positif, seperti olahraga, makan sehat, atau interaksi sosial, membantu menjaga stabilitas otak. Namun, pemicu negatif seperti alkohol, judi, atau scrolling media sosial cenderung menciptakan adiksi karena menawarkan kesenangan cepat dengan usaha minimal.
Perbandingan antara pemicu positif dan negatif terlihat jelas pada kurva pelepasan dopamin. Pemicu positif menghasilkan kenaikan dopamin yang sehat, diikuti oleh penurunan yang stabil ke level normal, memungkinkan kita menikmati kebahagiaan dari hal-hal sederhana.
Sebaliknya, pemicu negatif menyebabkan lonjakan dopamin yang curam, diikuti oleh penurunan drastis di bawah level normal. Kondisi ini menciptakan siklus vicious loop, di mana seseorang terus mengejar puncak dopamin berikutnya, sering kali tanpa sadar telah kehilangan kendali.
Baca Juga: Islam dan Pembiasaan Bersikap Sewajarnya
Untuk mengatasi dampak buruk ketidakseimbangan dopamin, konsep “puasa dopamin” atau dopamine detox menjadi solusi yang kini populer. Puasa dopamin bukan berarti menghindari semua sumber kebahagiaan, melainkan menggantikan pemicu dopamin negatif dengan yang positif.
Tujuannya adalah menstabilkan kadar dopamin di otak, sehingga kita dapat lebih menghargai hal-hal sederhana, meningkatkan fokus, dan membangun motivasi jangka panjang.
Protokol puasa dopamin meliputi menghindari junk food, media sosial, video game, minuman berenergi, dan kebiasaan buruk lainnya, sambil menggantinya dengan aktivitas positif seperti olahraga, makan makanan bergizi, dan menjalin hubungan sosial.
Puasa dopamin dapat dilihat sebagai bentuk modern dari menahan hawa nafsu, membantu kita mengarahkan energi pada aktivitas yang mendekatkan diri kepada Allah dan meningkatkan kualitas hidup.
Puasa dopamin bukanlah solusi instan, tetapi sebuah proses yang membutuhkan kesadaran dan kemauan. Tantangan terbesar adalah melawan kebiasaan lama, seperti keinginan untuk memeriksa ponsel setiap beberapa menit.
Namun, dengan pendekatan bertahap, kita dapat membangun kebiasaan yang lebih sehat. Komunitas daring juga dapat menjadi tempat berbagi tips dan pengalaman, seperti menghindari scrolling sebelum tidur atau mengganti waktu layar dengan membaca buku.
Mengendalikan dopamin adalah langkah kecil menuju perubahan besar. Dengan kesadaran, kemauan, dan bimbingan syariat, kita dapat melawan jebakan kesenangan instan dan membangun kehidupan yang lebih bermakna.(*)