
Ketika AR Fachruddin Menjadi Imam Tarawih di Lingkungan NU Dengan Cara Muhammadiyah
Kramat49, Sebagai sosok yang sangat sederhana, Ketua Umum PP Muhammadiyah, Allahyarham Kiai Abdur Rozaq Fachruddin atau yang akrab disapa Pak AR, tersebutkan pernah dua kali menjadi imam salat tarawih di lingkungan warga Nahdlatul Ulama (NU) dengan 11 rakaat sesuai tuntunan Muhammadiyah.
Dilansir dari muhammadiyah.or.id., cerita pertama terjadi di Ponorogo. Pak AR yang seharusnya mengisi pengajian di Masjid At-Taqwa milik Muhammadiyah ternyata salah alamat dan masuk ke masjid berbeda, yakni Masjid At-Taqwa milik NU yang juga tengah mengadakan pengajian.
Di masjid tersebut, Pak AR disambut penuh hormat oleh takmir masjid. Saat warga Muhammadiyah menyusul, beliau meminta waktu mengikuti acara di masjid NU tersebut hingga selesai. Bahkan tanpa ragu, takmir masjid tersebut berharap Pak AR bersedia menjadi imam salat tarawih di sana.
Sebelum memimpin salat, Pak AR bertanya kepada jamaah ini melaksanakan ibadah tarawih dalam berapa rakaat. Ternyata, jamaah yang hadir menyepakati melaksanakannya dengan 23 rakaat sesuai peribadatan NU.
Namun, hal yang dilakukan Pak AR saat mengimami salat tarawih tesebut dengan tumakninah. Salat tarawih tersebut dilaksanakan dengan menikmati setiap rukun dan pembacaan ayat-ayat al-Quran secara tartil.
Setelah mencapai rakaat ke-8 dengan waktu yang lebih lama, Pak AR Fachruddin membalikkan badannya dan kembali bertanya kepada jamaah salat tarawih tersebut.
“Dos pundi bapak-bapak, diterusaken taraweh nopo langsung witir?” (Bagaimana bapak-bapak, diteruskan tarawih atau langsung witir?)
Sontak semua jamaah NU yang ikut serta serentak menjawab, “Salat witir mawon.” (Salat witir saja). Jawab jamaah sambil tertawa masygul. Kisah pertama ini kemudian dipopulerkan ulang oleh aktivis Muhammadiyah Nurbani Yusuf pada tahun 2019.
Baca Juga: Pelatihan Relawan Sosial untuk Korban Musibah Gempa Bumi dan Tsunami di Prov. DKI Jakarta
Cerita serupa sempat terulang kembali. Kali ini kisahnya sudah mahsyur dan banyak beredar di dunia maya. Kisah tersebut diawali saat saat Pak AR mengunjungi sahabatnya, Ketua Umum PBNU, KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur di Pondok Pesantren Tebuireng.
Pada kesempatan itu, Pak AR kembali diberi kesempatan untuk mengisi khutbah tarawih sekaligus menjadi imam salat tarawihnya. Kesempatan tersebut disampaikan langsung oleh Gus Dur.
Akhirnya Pak AR menerima kesempatab tersebut dan kembali meminta izin pada jamaah seperti biasa.
Seperti sebelumnya, Kiai AR Fachruddin kembali bertanya pada pera jamaah, “Ini mau pakai tarawih NU atau Muhammadiyah?”. Kemudian, para jamaah dengan serentak menjawab, “enNUUUUUUUU…..,”.
Seperti biasa, Pak AR menyambutnya dengan tersenyum. Selanjutnya, beliau lalu berbalik badan dan dengan tenang mengimami ratusan jamaah NU dengan cara salat yang tumaninah, pelan, disertai bacaan surat al-Quran yang panjang.
Baca Juga: Muhammadiyah Besar Melalui Dakwah Sosial, Gubernur Jakarta: Semua Orang Butuh Itu
Kembali lagi, dengan cara Muhammadiyah seperti itu, durasi waktu untuk salat tarawih 8 rakaat telah melampaui durasi salat tarawih ala NU. Tentu saja, hal tersebut membuat ratusan jamaah NU gelisah.
Seperti sebelumnya, setelah salam di rakaat ke-8, Pak AR berhenti dan memutar badan menghadap jamaah salat. Lalu, kembali bertanya kepada jamaah, “Ini mau dilanjutkan tarawihnya cara NU yang 23 atau Muhammadiyah yang 11 rakaat?”.
Jawaban yang muncul ternyata sama dengan kasus pertama, para jamaah yang gelisah itu otomatis tertawa dan menjawab, “Tarawih Muhammadiyah saja..,”. Jawaban tersebut disampaikan dengan sahut riuh, tawa bahagia, sekaligus masygul.
Dengan respon tersebut, Pak AR melanjutkannya dengan salat witir tiga rakaat. Selesai salat, Gus Dur bangkit dan berkata kepada para jamaah, “Baru kali ini ada sejarahnya warga NU di kandang NU di-Muhammadiyah-kan secara massal oleh seorang Muhammadiyah saja,” kata Gus Dur.
Dari kedua cerita tersebut, kita dapat melihat harmonisasi dan kesederhanaan yang ditunjukan oleh Kiai AR Fachruddin. Meskipun di tengah kelompok masyarakat yang berbeda, dapat mengajak mereka untuk mengikuti tuntunan Muhammadiyah tanpa memaksa.(*)