
Hukum Badal Haji dan Ketentuannya
Kramat49-Jakarta, Saat musim ibadah haji tiba, ada satu aktivitas yang tidak asing terdengar ditelinga, yakni Badal Haji.
Dilansir dari muhammadiyah.or.id., badal haji adalah ibadah haji yang dilaksanakan oleh seseorang atas nama orang lain yang telah memiliki kewajiban untuk menunaikan ibadah haji.
Hal tersebut dilakukan karena orang yang bersangkutan telah uzur (berhalangan), sehingga tidak dapat melaksanakannya sendiri. Maka pelaksanaan ibadah tersebut didelegasikan kepada orang lain.
Badal haji ini menjadi masalah mengingat ada beberapa ayat al-Quran yang dapat dipahami bahwa seseorang hanya akan mendapatkan pahala dari hasil usahanya sendiri.
Artinya, seseorang tidak dapat melakukan suatu peribadatan untuk orang lain, pahala dari peribadatan itu tetap bagi orang yang melakukannya bukan bagi orang lain.
Di samping itu, terdapat hadis yang menerangkan bahwa seorang anak dapat melaksanakan ibadah haji untuk orang tuanya atau seseorang melaksanakan haji untuk saudaranya yang telah uzur baik karena sakit, usia tua atau telah meninggal dunia, padahal ia sudah berkewajiban untuk menunaikan ibadah haji.
Baca Juga: Islam dan Pembiasaan Bersikap Sewajarnya
Adapun ayat-ayat al-Quran yang dimaksud antara lain:
- Surat al-Baqarah ayat 286:“…ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya, dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya …”.
- Surat Yasin ayat 54:“Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun, dan kamu tidak dibalas kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan.”.
- Surat an-Najm ayat 38 dan 39:“(yaitu) bahwasanya seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan bahwasanya seseorang manusia tidak memperoleh sesuatu selain dari apa yang telah diusahakannya.”.
Kemudian, terdapat beberapa hadis yang dapat dijadikan acuan atau memberi petunjuk dibolehkannya seorang anak menunaikan ibadah haji atas nama orang tuanya dan seseorang melaksanakan haji untuk saudaranya.
Salah satunya diriwayatkan oleh Buhkari: “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwa seorang perempuan datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata: Sesungguhnya ibuku telah bernadzar untuk berhaji, lalu ia meninggal dunia sebelum ia melaksanakan haji, apakah saya harus menghajikannya? Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ya hajikanlah untuknya, bagaimana pendapatmu seandainya ibumu memiliki tanggungan hutang, apakah kamu akan melunasinya?” Ia menjawab: “Ya.” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tunaikanlah hutang (janji) kepada Allah, karena sesungguhnya hutang kepada Allah lebih berhak untuk dipenuhi.”
Baca Juga: Bid’ah dalam Perspektif Muhammadiyah
Dengan memperhatikan penggalan ayat al-Quran dan hadis di atas, maka haji bagi seseorang yang telah memenuhi kewajiban haji tetapi tidak dapat melakukannya, hanya dapat dilakukan oleh anak dan saudaranya (ahli warisnya) pada asyhuru al-hajj (musim haji), hanya saja pengganti harus telah berhaji terlebih dahulu.
Ketentuan tersebut sebagaimana dijelaskan dalam hadis riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah: “… diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar seseorang berkata labbaik (aku datang memenuhi panggilanmu) dari (untuk) Syubrumah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: Siapakah Syubrumah itu, ia menjawab: saudaraku atau kerabatku, lalu Rasulullah bertanya: Apakah kamu sudah berhaji untuk dirimu? Ia menjawab: Belum. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Berhajilah untuk dirimu (terlebih dahulu) kemudian kamu berhaji untuk Syubrumah.”(*)