
Warna Pembaruan Muhammad Abduh Pada Tantangan Masa Kini
Kramat49-Yogyakarta, Tantangan zaman yang semakin kompleks tidak hanya mendorong kita untuk beradaptasi dan menghadirkan perubahan yang visioner. Lebih dari itu, perubahan tersebut harus mampu berdampak secara meluas dan dalam waktu yang lama.
Seperti halnya Persyarikatan Muhammadiyah, organisasi ini berdiri atas inisiasi KH. Ahmad Dahlan yang terinspirasi oleh gagasan pembaruan islam yang digelorakan oleh Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afghani.
Dilansir dari muhammadiyah.or.id., Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Muhammad Syifa Amin Widigdo mengangkat tema penting tentang spirit pembaharuan Islam yang digagas oleh Muhammad Abduh.
Muhammad Abduh cukup dikenal sebagai seorang ulama reformis asal Mesir pada akhir abad 19 dan awal abad 20.
Kajian tersebut disampaikan Sabtu, (08/03) di Masjid KH Ahmad Dahlan-Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).
Dalam ceramahnya, Syifa Amin menyoroti sosok Muhammad Abduh sebagai pelopor pembaharuan Islam yang muncul di tengah tantangan besar umat Islam pada masanya, yakni kolonialisme dan keterpurukan intelektual.
Baca Juga: Ulama Arab-Hadrami dan Peran Keagamaannya di Nusantara
Pada masa itu, sejarah telah mencatat kelompok bangsa-bangsa Eropa, seperti: Portugis, Belanda, dan Inggris sebagai sosok yang menguasai wilayah dengan mayoritas Muslim, termasuk Indonesia dan Malaysia.
Di sisi lain, intelektual Prancis seperti Ernest Renan pada 1883, menyebut Islam sebagai penghambat kemajuan sains dan teknologi. Tuduhan tersebut kemudian dibantah oleh ulama reformis asal Mesir tersebut.
Bersama Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh menerbitkan majalah Al-Urwatul Wutsqa untuk menawarkan pandangan bahwa Islam justru mendorong kemajuan ilmu pengetahuan.
Bersama muridnya, Rasyid Ridha, ia juga menghasilkan karya monumental seperti Risalah Tauhid, majalah Al-Manar, hingga tafsir Al-Qur’an yang menekankan pembersihan akidah dari takhayul, bid’ah, dan khurafat (TBC).
Abduh menegaskan harmoni antara akal dan wahyu, menolak taklid buta, serta mendorong ijtihad dan amal saleh sebagai wujud tanggung jawab manusia.
Baca Juga: Memori Tentang KH Ahmad Dahlan di Majalah Pandji Masjarakat
Spirit pembaharuan itu akhirnya menyebar hingga ke Asia Tenggara dan menginspirasi beberapa tokoh agama terkemuka pada masa itu, seperti: Syekh Tahir Jalaluddin dari Minangkabau.
Serangkaian gagasa pembaruannya juga dibumikan oleh para ulama visioner lainnya, seperti: Syekh Jamil Jambek dan Abdul Karim Amrullah.
Abdul Karim Amrullah kemudian semakin membumikan gagasan ini di Indonesia dengan mendirikan majalah Al-Munir.
Dari sinilah, KH Ahmad Dahlan terinsipirasi untuk mendirikan organisasi Muhammadiyah pada 1912.
Kiai Dahlan mengadopsi ide pembaharuan yang digagas oleh Muhammad Abduh dengan mendirikan sekolah, panti asuhan, dan berbagai amal usaha. Termasuk, memadukan sains dalam praktik keagamaan, seperti penggunaan kompas untuk menentukan kiblat.
Gagasan ini juga diterima di Malaysia, khususnya di Perlis. Tentu saja, gagasa tersebut tidak lepas dari pertentangan di beberapa wilayah.
Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah ini mengajak jamaah yang hadir untuk turut merefleksikan tantangan zaman sekarang.
Syifa Amin mempertanyakan berbagai hal yang kini tampak menjadi “tahayul baru” di era modern. Mulai dari ketergantungan pada teknologi hingga praktik ibadah yang menyimpang dari akidah murni.
Dirinya menekankan pentingnya generasi muda untuk menjadi mujaddid (pembaharu) baru yang dapat menawarkan solusi bagi umat, bangsa, dan agama.
“Para pendahulu kita telah menunjukkan jalan. Sekarang tugas kita adalah mengidentifikasi masalah zaman ini dan bertindak dengan amal saleh. Ramadan ini adalah momentum untuk mentransformasi diri menjadi calon mujaddid,” tutup Syifa.(*)