Keislaman Nusantara dahulu tampaknya tidak dapat dilepaskan dari peran tokoh-tokoh (ulama) Timur Tengah (Arab-Hadrami). Seperti dikemukakan Azyumardi Azra, ulama Arab-Hadrami memainkan peran penting dalam penyebaran Islam di Nusantara. Bahkan para juru dakwah awal Islam terkemuka di Jawa yang dikenal dengan “Wali Sanga” adalah orang-orang keturunan Hadrami. Sembilan wali itu adalah Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik), Raden Rahmat (Sunan Ampel), Raden Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang), Raden Qasim (Sunan Drajat), Ja’far Shadiq (Sunan Kudus), Raden Paku atau Ainul Yaqin (Sunan Giri), Raden Sahid (Sunan Kali Jaga), Raden Umar Said (Sunan Muria), dan Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).
Tasawuf atau sufisme tampaknya adalah corak keislaman awal yang muncul dan populer di Nusantara. Al-Faqih al-Muqaddam misalnya adalah tokoh Arab (sayyid) pertama yang memainkan peran penting dalam penyebaran tasawuf di Nusantara, yaitu sekitar awal abad ke-7/13. Beberapa Wali Sanga juga dikenal dengan kecendrungannya dengan tasawuf, bahkan mereka mengadaptasikan dengan kepercayaan dan praktik lokal. “Hikajat Raja-Raja Pasai” dan “Sejarah Melayu” misalnya menginformasikan bahwa orang-orang Arab yang datang ke Nusantara mengonversi para penguasa lokal dan penduduknya ke dalam Islam, mereka datang dari Jeddah, Makkah, Bagdad. (Azra, 2005: 139).
Lebih lanjut, terdapat fakta bahwa migrasi orang-orang Arab-Hadrami dalam jumlah besar ke Nusantara, yaitu mulai terjadi sejak akhir abad ke-18 M. Mereka mendirikan sejumlah pemukiman di beberapa wilayah seperti di Palembang, Pontianak, Batavia, Pekalongan, Surabaya, Sumenep, Kedah, Malaka, dan Pinang. Pada perkembangan awalnya, kedatangan orang-orang Arab-Hadrami ini hanyalah motif ekonomi, yaitu berdagang, bukan menyebarkan Islam. Oleh karena itu pula dalam tahap awal pengaruh sosial politik orang-orang Hadrami ini tidak terlalu dominan di Nusantara.
Van den Berg, seperti dikutip Azyumardi Azra, telah merilis sejumlah ulama Arab yang berkiprah di Nusantara dari sejak akhir abad ke-18 M sampai seterusnya. Salah satunya adalah Sayyid Husain (Sayyid Husain bin Abu Bakr al-‘Aidarus), wafat tahun 1789 M di Batavia. Di kota ini Sayyid Husain mengajarkan agama cukup lama. Berikutnya adalah seorang ulama Hadrami pengembara bernama Abd ar-Rahman bin Mushtafa al-‘Aidarus (w. 1194/1780). Dia adalah seorang pengajar beberapa ulama muda di Timur Tengah, dia juga mengembara ke sejumlah wilayah (negeri), diantaranya Nusantara. Selanjutnya Sayyid Abd ar-Rahman bin Abu Bakr al-Habsyi juga pernah datang dari Hadramaut ke Batavia pada tahun 1828 M, namun pada tahun 1853 M dia kembali ke Hadramaut.
Ulama Arab-Hadrami lainnya adalah Salim bin Abdullah bin Sumair. Berasal dari Hadramaut melalui Singapura ke Batavia pada tahun 1851 M. Dia meninggal dunia di Batavia tahun 1270/1854. Aktifitasnya di Nusantara (Batavia) adalah mengajar, menulis dan berdagang. Salah satu karyanya adalah “Safinah an-Najah”, sebuah buku kecil lagi ringkas membicarakan berbagai cabang syariat (fikih) seperti shalat, puasa, haji, dan lain-lain. Buku ini dalam perkembangannya banyak di gunakan di pesantren-pesantren Nusantara, bahkan masih digunakan sampai saat ini.
Mulai abad ke-17 M, sejatinya para ulama Arab-Hadrami mulai muncul ke permukaan. Salah satu tokoh yang paling populer adalah Ar-Raniry (w. 1068/1658), betapapun dia lebih dikenal sebagai sosok Nusantara. Seperti dikemukakan Azyumardi Azra, Ar-Raniry adalah imigran Hadramaut di Ranir, India, sedangkan ibunya seorang Melayu. Di Nusantara, Ar-Raniry dikenal sebagai ulama paling kontroversial dalam kaitan dengan penentangannya terhadap sufisme Wujudiyah di Kesultanan Aceh. (Azra, 2005: 139). Syaikh Abd ash-Shamad al-Falimbany juga masuk dalam kategori ulama Arab-Hadrami. Dia memiliki gelar sayyid, ayahnya adalah seorang Yaman, sedangkan ibunya seorang Palembang.
Selanjutnya adalah Sayyid Usman (w. 1331 H/1913 M), nama lengkapnya Al-Habib Sayyid Usman bin Abdullah bin Aqil bin Yahya al-‘Alawy al-Husainy. Lahir di Pekojan, Batavia pada tahun 1238 H/1882 M. Ayahnya sendiri lahir di Makkah, merupakan keturunan Hadrami. Sedangkan ibunya bernama Aminah, adalah puteri Syaikh Abd ar-Rahman bin Ahmad al-Mishry. Sayyid Usman adalah tokoh Arab-Hadrami paling terkemuka di Nusantara pada akhir abad ke-19 M dan awal abad ke-20 M. Dia adalah mufti Betawi (Batavia) yang dikukuhkan oleh Belanda.
Dia juga menempati posisi khusus pada administrasi kolonial Belanda yaitu penasihat kehormatan bagi pemerintahan Hindia Belanda untuk urusan Arab yang sering mengurusi masalah-masalah pribumi dan Islam. Dia juga adalah sahabat karib Snouck Hurgronje. Awal kiprah Sayyid Usman di Nusantara adalah ketika Haji Abdul Ghani Bima yang sudah tua dan tak mampu lagi mengajar karena alasan kesehatan meminta Sayyid Usman untuk menggantikannya sebagai guru di Masjid Pekojan. Haji Abdul Ghani Bima sendiri merupakan salah satu ulama terkemuka di koloni Jawa di Makkah, namun dia memilih kembali ke Nusantara di usia senjanya.
Adapun kakek Sayyid Usman bernama Sayyid Abd ar-Rahman al-Mishry (w. 1847 M). Seperti terlihat dari gelar namanya, adalah berasal dari Mesir. Menurut Van den Berg, Sayyid Abd ar-Rahman al-Mishry pertama kali datang ke Nusantara menginjakkan kaki di Palembang dan Padang, pada mulanya untuk berdagang. Berikutnya dia tinggal di Petamburan, Batavia. Di Petamburan dia membangun Masjid. Disini pula dia mengabdikan dirinya dalam pengajaran Islam. Dia juga tercatat sebagai seorang yang ahli dalam bidang ilmu falak (astronomi). Salah satu kontribusinya adalah akurasi dan koreksi arah kiblat beberapa Masjid di Palembang. Dia sangat dihormati oleh otoritas Belanda di Batavia.
Sayyid Abd ar-Rahman (kakek Sayyid Usman) adalah yang mengambil alih tanggung jawab atas pertumbuhan Sayyid Usman setelah ayahnya kembali ke Makkah, waktu itu dia berumur tiga tahun. Oleh karena itu dalam hal ini Sayyid Usman mendapatkan pendidikan keagamaan awal dari kakeknya ini.
Dalam kiprahnya di Nusantara, Sayyid Usman banyak terlibat dalam persoalan-persoalan kontroversial yang mengemuka di tengah masyarakat, salah satunya adalah dalam masalah penentuan awal bulan. Persoalan ini kerap menjadi masalah di kalangan umat Islam bahkan hingga saat ini, karena tidak adanya kesepakatan tentang metode apa yang digunakan. Untuk masalah ini Sayyid Usman menulis sebuah buku berjudul “Qaul ash-Shawab”. Dalam buku kecil ini dijelaskan bahwa dalam penentuan awal bulan sejatinya menggunakan rukyat. Buku “Qaul ash-Shawab” ini juga mendorong lahirnya kesepakatan antara kedua belah pihak yang kerap terjadi perbedaan pandangan dalam menentukana wal bulan.
Persoalan lain yang sering muncul adalah terkait arah kiblat, bahkan masalah ini sangat sering muncul dan dihadapkan kepada Sayyid Usman. Untuk masalah ini Sayyid Usman menulis buku berjudul “Tahrir Aqwa al-Adillah fi Tahshil ‘Ain al-Qiblah”. Buku ini ditulis atas permintaan sejumlah orang dari Banjarmasin. Sejak kedatangan Sayyid Usman ke Batavia, dia telah memberikan kontribusi di tengah masyarakat. Demikian sekilas peran dan kontribusi ulama Arab-Hadrami di Nusantara.
Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, Dosen FAI UMSU dan Kepala Observatorium Ilmu Falak UMSU
Sumber: Majalah SM Edisi 16 Tahun 2019