Nikah sirri atau dikenal dengan istilah “menikah di bawah tangan” adalah aktivitas pernikahan yang tidak melibatkan petugas pencatat nikah untuk dicatatkan dalam dokumen Negara. Perbincangan tentang nikah sirri ini mulai menguat ketika muncul rencana dari pemerintah untuk menyusun suatu Rancangan Undang-undang yang melarang nikah sirri. Dalam RUU tersebut, pelaku nikah sirri dan pihak-pihak yang terlibat dalam pernikahan akan dikenakan hukuman penjara.
Istilah nikah sirri sebenarnya bukan hal yang baru dalam literatur Islam. Nikah sirri sudah dikenal oleh generasi pertama umat Islam. Fakta ini dapat dilihat dari adanya beberapa hadits nabi yang memuat istilah nikah sirri tersebut, baik hadits shahih maupun dha’if.
Misalnya, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad berikut ini;
حَدَّثَنَا عَبْد اللَّهِ حَدَّثَنَا أَبُو الْفَضْلِ الْمَرْوَزِيُّ قَالَ حَدَّثَنِي ابْنُ أَبِي أُوَيْسٍ قَالَ وَحَدَّثَنِي حُسَيْنُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ ابْنِ ضُمَيْرَةَ عَنْ عَمْرِو بْنِ يَحْيَى الْمَازِنِيِّ عَنْ جَدِّهِ أَبِي حَسَنٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَكْرَهُ نِكَاحَ السِّرِّ حَتَّى يُضْرَبَ بِدُفٍّ وَيُقَالَ أَتَيْنَاكُمْ أَتَيْنَاكُمْ فَحَيُّونَا نُحَيِّيكُمْ
“Telah bercerita kepada kami, Abu al-Fadhl al-Marwazi, ia berkata, telah bercerita kepadaku Ibnu Abi Uwais, ia berkata, telah menceritakan kepadaku Husain bin Abdillah bin Dhumairah, dari Amru bin Yahya al-Mazini, dari kakeknya, Abu Hasan, sesungguhnya Nabi saw membenci nikah sirri, sampai dibunyikannya alat musik (rebana/tamborin), dan dikatakan kami mengundang kalian, kami mengundang kalian, maka datanglah kepada kami, karena kami mengundang kalian.”
Hadits ini memiliki derajat hadits dha’if. Ada dua rawi dalam rangkaian sanad hadis tersebut yang dilemahkan oleh imam hadits selain Imam Ahmad. Dua rawi tersebut adalah Ibn Abi Uwais, yang dilemahkan oleh Imam al-Nasa’i, dan Husain Ibn Abdillah Ibn Dlumairah, yang di-dha’if-kan oleh Imam Malik bin Anas. Imam Ahmad sendiri menerima dua rawi tersebut, walaupun derajatnya biasa-biasa saja.
Istilah nikah sirri juga ditemukan dalan atsar sahabat Umar bin Khattab. Atsar tersebut diriwayatkan oleh Imam Malik berikut ini:
و حَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ الْمَكِّيِّ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أُتِيَ بِنِكَاحٍ لَمْ يَشْهَدْ عَلَيْهِ إِلَّا رَجُلٌ وَامْرَأَةٌ فَقَالَ هَذَا نِكَاحُ السِّرِّ وَلَا أُجِيزُهُ وَلَوْ كُنْتُ تَقَدَّمْتُ فِيهِ لَرَجَمْتُ
“Telah diceritakan kepadaku dari Malik, dari Abu al-Zubair al-Makkiy, sesungguhnya telah diceritakan kepada Umar bin Khattab tentang suatu pernikahan yang tidak disaksikan kecuali oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan. Maka Umar berkata: “ini adalah pernikahan sirri, aku tidak membolehkannya, seandainya aku mengetahuinya maka aku akan merajamnya.”
Atsar ini marfu’. Semua rawinya tsiqah. Karena itu atsar ini dapat dijadikan sebagai hujjah bahwa istilah nikah sirri telah dikenal oleh umat Islam sejak generasi pertama.
Berdasarkan atsar Umar bin Khattab tersebut, jika dilihat dari sudut pandang hukum dalam fiqih, yang disebut dengan nikah sirri adalah pernikahan yang saksinya tidak memenuhi persyaratan saksi minimal. Kasus pernikahan yang disampaikan kepada Umar di atas hanya disaksikan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan, sedangkan syarat sahnya pernikahan adalah disaksikan oleh dua orang saksi laki-laki. Dengan demikian persoalan nikah sirri sangat berhubungan dengan kedudukan saksi dalam pernikahan.
Sebagaimana telah diketahui, Jumhur Ulama berpendapat bahwa syarat sah saksi dalam pernikahan adalah dua orang laki-laki. Kedudukan saksi ini sangat penting dan krusial dalam pernikahan. Pertama, saksi berhubungan dengan bukti yang bersifat publik. Kehadiran saksi telah mengubah sifat kerahasiaan menjadi sesuatu yang diketahui secara umum. Hal ini tentu berkaitan dengan hak-hak sepasang suami istri di depan publik. Melalui persaksian tersebut sepasang suami istri memiliki hak untuk bebas dari persangkaan, gunjingan, dan tuduhan yang tidak bermoral atas hubungan mereka berdua. Saksi ini dapat diistilahkan sebagai saksi publik.
Kedua, kedudukan saksi berkaitan dengan hak-hak anak yang terlahir dari pernikahan sepasang suami istri. Keberadaan saksi berperan dalam hal menjaga agar anak yang dilahirkan mendapatkan hak-hak sesuai dengan perwalian yang dimilikinya. Di sini saksi menjadi bukti hukum bahwa anak tersebut benar-benar hasil pernikahan dari sepasang suami istri yang dipersaksikannya. Saksi ini dapat disebut dengan saksi hukum.
Kedudukan saksi dalam pernikahan ini berkaitan dengan hadits rasul yang memerintahkan agar umat Islam mengumumkan pernikahannya sehingga disaksikan oleh masyarakat luas. Hadits tersebut adalah sebagai berikut;
حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ مَعْرُوفٍ قَالَ عَبْد اللَّهِ وَسَمِعْتُهُ أَنَا مِنْ هَارُونَ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ قَالَ حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْأَسْوَدِ الْقُرَشِيُّ عَنْ عَامِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَعْلِنُوا النِّكَاحَ
Telah bercerita kepada kami Harun bin Ma’ruf, Abdullah berkata sebagaimana yang aku dengar dari Harun, ia berkata telah bercerita kepada kami Abdullah bin Wahab, ia berkata telah bercerita kepadaku Abdullah bin al-Aswad al-Qurasyiy, dari Amr bin Abdullah bin al-Zubair, dari bapaknya, sesungguhnya Nabi saw bersabda; “umumkanlah pernikahan itu.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Semua rawinya tsiqah dan bersambung sampai nabi. Karenanya derajat hadits ini shahih. Dengan demikian perintah agar pernikahan harus dilakukan secara terang-terangkan dan diumumkan di muka umum sangat jelas dan tidak terbantahkan.
Dua kedudukan saksi di atas saat ini memiliki permasalahan yang berbeda. Kedudukan saksi publik dalam pernikahan tidak memiliki banyak persoalan. Perintah untuk mengumumkan pernikahan ke publik cukup jelas dan rajih. Selain itu persoalan saksi publik ini tidak mengalami perubahan berarti seiring dengan adanya perubahan struktur dan sistem sosial dari masa Nabi saw ke masa sekarang.
Berbeda halnya dengan kedudukan saksi sebagai bukti hukum. Adanya perubahan stuktur dan sistem sosial, dari model masyarakat kesukuan ke sistem negara modern, memiliki implikasi yang sangat berarti bagi kedudukan saksi hukum. Sebagaimana diketahui bahwa struktur sosial pada masa awal dakwah Islam adalah masa transisi dari struktur kesukuan menuju struktur masyarakat semi modern. Meskipun demikian ciri struktur kesukuan belum hilang sepenuhnya dari struktur masyarakat Muslim.
Dalam struktur masyarakat kesukuan, kesaksian personal sudah dianggap cukup sebagai bukti hukum. Kesaksian tersebut dapat dijadikan alat bukti hukum di depan pemimpin masyarakat dalam memberikan keputusan hukum. Akan tetapi dalam konteks negara modern, kesaksian personal dinilai sangat lemah. Negara modern ditopang oleh sistem administrasi dan dokumentasi tertulis. Karena itulah keabsahan hukum di negara modern ditentukan oleh catatan administrasi dan dokumen negara.
Di sinilah umat Islam harus cerdas dalam menangkap esensi saksi dalam pernikahan. Saksi tersebut bukan semata-mata saksi publik, yang cukup diketahui hanya sekedar untuk melegalkan hubungan seorang laki-laki dan perempuan. Pada praktiknya kedudukan saksi publik ini justru dimanfaatkan oleh banyak pasangan yang ingin melegalkan hubungan gelap mereka. Keabsahan agama kemudian diperalat untuk mengesahkan status mereka.
Kedudukan saksi hukum juga sangat signifikan, khususnya berkaitan dengan hak-hak hukum bagi semua pihak, baik suami, istri, maupun anak-anak yang dilahirkan dari keduanya. Misalnya ketika suatu pernikahan tidak dicatatkan dalam dokumen negara, maka anak yang dilahirkan pun tidak dapat dicatatkan dalam dokumen negara. Anak tersebut tidak bisa dibuatkan akta kelahiran. Akibatnya dia dapat kehilangan hak-hak yang diberikan oleh negara kepadanya, seperti hak mendapatkan pendidikan yang layak dan hak-hak anak lainnya.
Belum lagi kalau terjadi perceraian. Istri dan anak sangat rentan kehilangan hak-haknya. Negara tidak memiliki saksi hukum yang dapat menjerat sang suami agar memenuhi hak-hak istri dan anak yang ditinggalkannya. Saksi publik tidak cukup kuat untuk menekan agar sang suami memenuhi kewajibannya. Tanpa jerat hukum dari negara, sang suami tersebut hanya akan mendapatkan sanksi sosial yang sangat lemah. Sanksi tersebut tidak akan mampu mengembalikan hak-hak istri yang diceraikan, dan anak yang ditinggalkan.
Pentingnya saksi hukum ini dapat dilihat dari besarnya ekspektasi al-Qur’an terhadap pernikahan. Al-Qur’an surat Al-Rum ayat 21 menegaskan bahwa pernikahan bukan semata-mata untuk penyaluran nafsu birahi, bukan pula sekedar melahirkan keturunan, melainkan untuk membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Inti dari tujuan pernikahan tersebut adalah keluarga yang berkualitas. Keluarga seperti inilah yang dapat menjadi infestasi jangka panjang dalam membangun peradaban dunia yang sesuai dengan nilai-nilai al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw.
Dengan demikian, dari perspektif kajian terhadap hadits-hadits di atas, pencatatan pernikahan dalam dokumen negara adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kedudukan saksi dalam pernikahan. Karena itu, di mata agama maupun negara, nikah sirri sama-sama tidak sah.
Wallahu a’lam
Sumber: Majalah SM No 6 Tahun 2010