Isu agama dan politik mewarnai ruang publik politik global. Isu Islam di Perancis menjadi pembicaraan yang tak henti-hentinya selama beberapa minggu yang lalu. Dalam hal ini, bagi kita yang memiliki kesadaran kritis, kita perlu merefleksikan secara jelas dan mendalam solusi yang tepat bagi permasalahan umat pengikut Muhammad SAW. Bagaimana membawa semangat zaman dan prinsip Nabi Muhammad SAW ke konteks kekinian?
Pertama, saya memulainya dengan mengajak memikirkan kembali komentar-komentar sarjana (pengikut) Islam atas kasus Perancis. Mereka yang secara getol menjadi penerjemah, ‘pengkhotbah’, ‘jubir’ gagasan besar pandangan hidup (worldview) Perancis yang berikutnya saya istilahkan sebagai “discourse Perancis”. Mereka berpendapat bahwa Pidato Macron tidak ada kesalahan, tetapi justru mempromosikan Islam pencerahan (“Islam des Lumières”) dengan mengkonfrontasikannya dengan Islam ekstrimis (Islamic extremism) dan Islam radikal (Radical Islam) atau Islamist.
Bagi para ‘sarjana Islam’ baik yang sedang belajar di Barat, khususnya Perancis maupun yang ada di dalam negeri dengan nada semacam euphoria abad Pencerahan (Barat), pidato Macron disalahpahami. Mereka ‘membela’ Macron atas banyak umat Islam yang memprotes Perancis. Mereka mengatakan umat Islam anti-Perancis/Macron perlu belajar lagi tentang dunia Barat.
Di sini mempunyai kesan seolah-olah Barat harus menjadi kiblat dunia Islam. Di luar discourse Barat disebut sebagai the rest of the world, yakni sisa-sisa dunia saja. Posisi Barat adalah pihak yang beradab dan luar dirinya sebagai sisi dunia yang dianggap tidak penting atau bagian dunia yang perlu didaur ulang atau di-adab-kan.
Para sarjana Islam melihat dunia Islam sedang mengalami krisis dan pengikut Islam harus belajar terus kepada Barat. Seolah-olah Barat adalah rujukan utama bagi krisis umat Islam. Bagi penulis, para sarjana Muslim ini mengikuti aturan main Barat.
Problem Modernitas dan Sikap Kita
Modernitas memberi kita discourse yang ambivalen: ketika kita dituntut rasional, maka lahirlah irasionalitas. Ketika muncul konsep kebebasan, maka dunia justru menjadi penjara bagi manusia. Menguatnya sekulerisme (Perancis) justru melahirkan diskriminasi, ketidakbebasan, ketidakbersaudaraan di dalam tubuh Perancis-nya sendiri. Mimpi keberagaman, kesetaraan justru melahirkan homogenisasi dan pendisiplinan warga negara ke dalam tubuh esensialis ideologi sekulerisme Perancis.
Sepertinya berbagai macam istilah indah dan moralistik Barat adalah utopia atau abstraksi ideal. Abstraksi ini membawa pada delusi modernitas, kolonialisme Barat membawa kaum imigran negeri terjajah bertemu kembali dengan para ‘penjajah’ di negeri ‘imperial’. Discourse utopia moralis dan sekuleris Perancis di level grassroot melahirkan ghetto-ghetto Islam yang memang secara struktural diskriminatif. Di ghetto-ghetto ini lahir banyak mualaf dari Perancis yang kurang dipedulikan pemerintah secara ekonomi dan frustrasi secara identitas kebangsaannya. Tekanan struktural inilah yang membuat warga negara Perancis jatuh pada penguatan ‘identitas Islam’ dan bertindak demi eksistensi simbol-simbol Islam yang ada; dirinya adalah penanda-penanda Islam. Di Perancis ini problem sosial yang berdampak ke kriminalitas.
Dari konteks di atas, maka kita perlu kritis terhadap ‘sarjana Islam’ yang menjadi ‘jubir’ Macron. Kebijakan Macron yang terlihat baik kepada kaum Muslim dengan memunculkan istilah “Islam pencerahan” perlu ‘ditunda’. Kita jangan naïve menghadapi (‘kebaikan’) Macron. Kebijakan Macron mendefinisikan ragam Islam agar jelas: mana Islam yang baik dan mana Islam yang jahat merupakan logika bermasalah. Mengapa ada Islam jahat, bukannya orang yang sedang mengikuti ajaran Islam lalu terkorup sisi lemah kemanusiaaannya lalu bertindak jahat?
Macron berusaha menerapkan praktik governmentality, pendisiplinan, pengawasan, kontrol tidak dengan kekerasan. Macron menciptakan politik narasi oposisi biner yakni dua Islam yang baik dan yang jahat dengan tujuan menaklukkan Muslim Prancis.
Dengan kebijakan Islam pencerahan, rejim Macron diistilahkan di Jawa nabok nyilih tangan, yakni menghadapi warga Muslim Prancis yang dianggap jahat dengan orang-orang Islam yang dianggap baik melalui jalur peraturan: sertifikasi ulama, pengajaran Bahasa Arab dari standar pemerintah, pidato dalam Bahasa Prancis, dan kebijakan-kebijakan lainnya yang bisa mengawasi orang-orang Islam. Ulamanya pun dipilih pemerintah dan yang tidak pro pemerintah dibuat sedemikian rupa agar tenggelam dari ruang publik. Discourse semacam ini sangat kental pemikiran konsep akan power dari Jean Bodin, Thomas Hobbes, Max Weber yang ditafsirkan ulang oleh Foucault.
Selain itu, kita juga harus kritis terhadap sikap umat Islam yang anti-Macron. Kita seringkali tidak bisa membedakan antara “Islam” dan “umat Islam”. Islam adalah ajaran, proses spiritualisme, dan jalan (syariat) menuju Allah. Umat Islam adalah manusia yang sedang berproses mengendalikan dirinya yang lemah dan rentan atas tindakan-tindakan perusakan melalui ajaran yang dibawa Nabi Muhammad SAW”.
Islam sendiri sudah kaffah dan sempurna sedangkan orang yang sedang berproses menjalankan ajaran Islam adalah seseorang yang tidak sempurna, korup, dan miskin spiritualisme. Kita ini manusia rapuh dan lemah sehingga perlu pegangan ajaran Islam. Oleh sebab itu, berbahaya sekali jika melihat demonstrasi orang-orang yang perkataannya berkebalikan dengan tata cara Nabi Muhammad SAW.
Sebagai pengikut ajaran Islam tentu harus bersikap tepo seliro/tenggang rasa, memikirkan perasaan orang lain terlebih dahulu sebelum bertindak. Memang dalam proses belum sepenuhnya selesai sehingga masih saja ada sikap-sikap pengikut ajaran Islam yang menghina Islam itu sendiri seperti arogansi kelompok. Perasaan mayoritas memberi peluang untuk menerabas aturan-aturan yang berlaku untuk semua warga Indonesia.
Bagi negara Indonesia sebagai hasil kesepakatan bersama, Darul ‘Ahdi wa Syahadah, maka peraturan tentunya tidak boleh absen, khususnya di era pandemi ini. Namun politik nasional memang kompleks sehingga peraturan bisa dinegosiasikan. Maka dari itu, fenomena negara Prancis tidaklah jauh berbeda dari negara Indonesia. Perbedaannya, di Prancis mengaku mayoritas non-Muslim dan di Indonesia mengaku mayoritas Muslim.
Singkatnya, ‘sarjana Islam’ menormalisasikan discourse Barat seperti radical Islam, extremist Islam, jihadist, Islamist, Le separatisme islamiste dan seterusnya secara permisif, taken for granted atau given. Mengapa mereka tidak memakai istilah-istilah khasanah Islam klasik yang begitu kaya itu? Mengapa Barat tetap arogan mendefinisikan Islam tanpa bertanya kepada pengikut Nabi Muhammad SAW?
Demikian pula beberapa orang yang mengklaim pengikut ajaran Islam, mengapa mereka tidak mempelajari dengan tekun berbagai macam bidang ilmu untuk bisa sejajar dengan peradaban Barat? Apakah mereka hanya bisa sebatas berteriak di jalanan seolah-olah mereka adalah pembela Islam agar dilihat di ruang publik? Apakah mereka hanya bisa dan akan terus melakukan politik jalanan sebagai pertunjukan bela Islam di ruang publik? Apakah mereka hanya bisa kerja ritual Islam dengan penggalangan massa? Pertanyaan retorik ini butuh jawaban jujur dari hasil self-reflection para pengikutnya yang kini mungkin terlalu sibuk dengan duniawi ataupun tampilan religius agama.
Musa Maliki, PhD dari Charles Darwin University, Dosen HI UPN Veteran Jakarta
Sumber SM