Kramat 49 – Barangkali pepatah lama berbunyi “penduduk suatu negeri lebih tahu dengan celah-celah kampungnya” tepat untuk memandang masalah Papua. Kurangnya porsi orang Papua berbicara dan berdiri setara dianggap sebagai sumber konflik sejak Integrasi Pepera 1969.
“Selalu saja orang Papua itu dipandang sebagai objek kekuasaan dan kebudayaan lain. Hal ini dapat dilihat dari adanya stereotype yang dilekatkan pada orang Papua dan stigma yang otomatis didapatkan. Sehingga menjadi wajar kalau orang Papua (selalu) dianggap aktor kekeliruan. Kecurigaan terhadap orang Papua itu begitu besarnya,” ungkap Ade Yamin, doktor dan antropolog asal IAIN Fattahul Muluk Papua.
Dalam Webinar Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah bertajuk Masa Depan Papua: Perspektif Orang Papua, Sabtu (18/9) Ade juga menyoroti rasisme struktural dan kultural yang masih sering didapatkan bangsa Papua.
“Banyak pihak gagal memahami sejarah, kultur dan struktur masyarakat Papua. Berdampak pada ambiguitas kebijakan politik. Lalu, ada kemungkinan keengganan menyelesaikan masalah Papua secara bermartabat dan berkemanusiaan,” imbuhnya mengkritik pendekatan Militerisme di Papua.
Perlukah Otsus Bagi Masyarakat Papua?
Memuji pendekatan kultural Muhammadiyah yang telah dilakukan sejak lama, termasuk memberi banyak ruang bagi orang Papua untuk berbicara, Gugus Tugas Papua (GTP) Universitas Gajah Mada (UGM) Ari Ruhiyanto menyebut kebijakan Otonomi Khusus (Otsus) serba dilematis.
Papua sendiri menjadi Provinsi setelah mengalami pemekaran dari Provinsi Maluku pada 1956. Pada perkembangannya, pemekaran Papua menjadi tiga wilayah pada 1999 gagal karena hanya dua provinsi saja yang lahir yakni Papua dan Papua Barat. Kini, justru muncul ide pemekaran Papua berdasarkan 7 wilayah adat, yakni 5 di Papua Barat, dan 2 di Papua Barat.
Meski Otsus dianggap penting bagi pertumbuhan aspek demokrasi dan gender hingga 30 tahun ke depan, sejak wacana Otsus dilambungkan, terjadi kenaikan angka kekerasan yang menyebabkan kematian di antara warga, aparat dan KKB.
Data GTP UGM per 3 September 2021 mencatat jumlah kasus naik perlahan sejak 2016 dari 11 orang menjadi 19 orang pada 2017, naik drastis pada 2019 sebanyak 20 kasus dan kian naik pada 2020 dengan 65 kasus dan 70 kasus untuk 2021 yang belum genap satu tahun.
Ari menganggap UU Otsus dengan realisasi 2 pasal baru dan 18 pasal terevisi sebenarnya cukup menjanjikan bagi masa depan Papua. Tetapi, dirinya menyoroti dua hal besar, yakni SDM Papua yang matang belum cukup tersedia dan Pemerintah belum berhasil membangun legitimasi yang kokoh bagi masyarakat Papua.
“Seandainya masyarakat bertemu aparat keamanan masih ada rasa ketakutan, itu artinya negara belum cukup bisa membangun legitimasi sosial. Seharusnya aparat keamanan menghadirkan rasa aman bukan menghadirkan ketakutan. Ketika yang muncul adalah ketakutan, saya rasa perlu dipertanyakan keberhasilannya dalam membangun legitimasi sosial,” ungkapnya.
Hentikan Militerisme, Biarkan Papua Bicara
Menyambung Ari, Ade menilai bahwa residu proses politik 1969 Pepera hingga DOM tahun 2000 masih meninggalkan trauma. Sebagai akademisi dan antropolog, Ade berharap pemerintah mengubah pendekatan dalam pembangunan Papua.
Termasuk membereskan para pendengung di media sosial secara adil, baik kepada mereka yang membawa narasi NKRI Harga Mati maupun Papua Merdeka Harga Mati. Keduanya, dianggap Ade memunculkan trauma masyarakat Papua dan menghambat integrasi.
“Papua dihadapkan pada NKRI Harga Mati Otsus atau Referendum, padahal LIPI sejak 2004-2017 itu berteriak terdapat empat hutang besar pemerintah pada Papua yaitu sejarah status politik, kekerasan dan pelanggaran HAM, kegagalan pembangunan, serta diskriminasi pada orang Papua,” sebutnya.
“Uniknya pemerintah melancarkan politik pembangunanisme dan pemberdayaanisme yang menciptakan stratifikasi masyarakat berdasarkan etnis. Hari ini kita tahu masyarakat dibelah dalam dua kutub besar: orang asli dan bukan orang asli, padahal kita, Pemerintah belum menunjukkan secara substantif kebutuhan Papua untuk masa depan,” kata Ade.
Masukan Bagi Pemerintah dan Peluang Bagi Muhammadiyah
Lebih lanjut, Ade Yamin optimis masalah Papua lebih mungkin selesai jika Pemerintah memahami Papua dari sudut pandang orang Papua sendiri, bukan dari kacamata Pusat atau standar kebudayaan lain serta memberikan kesetaraan akses di bidang aparatur sipil negara hingga pendidikan.
“Kesempatan yang diberikan itu harus dibarengi afirmasi holistik, tidak cukup dengan biaya pendidikan, termasuk terjaminnya mereka dari stereotype dan stigma sehingga perlahan tercipta pemahaman bahwa identitas Kepapuaan adalah identitas Keindonesiaan,” tegasnya.
Senada dengan Ade, GTP UGM Ari Ruhiyanto menilai kehadiran Pemerintah di Papua selama ini masih bersifat seperti Sinterklas sehingga menciptakan ketergantungan.
“Beberapa riset kami di pedalaman Papua, produktivitas masyarakat menurut setelah hadirnya pemerintah kabupaten baru. Masyarakat yang tadi gemar berkebun, sekarang tidak melakukannya karena mengandalkan sumbangan dari pemerintah,” ungkapnya.
Untuk mendapatkan legitimasi, Pemerintah dianggap perlu lebih serius membangun infrastrukstur transportasi lintas daerah/provinsi, infrastrukturk telekomunikasi, listrik, air bersih hingga menjamin ketersediaan Sumber Daya Manusia asli Papua di bidang profesional dan birokrasi.
“Jika ingin membangun legitimasi, maka pemberdayaan adalah yang diperlukan sehingga publik dan masyarakat Papua akan memandang kehadiran negara memang betul menjadi upaya untuk mendorong kesejahteraan bersama, bukan sekadar akomodasi elit,” tuturnya.
Dalam forum yang sama, Mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI Yohana Susana setuju dengan pendekatan kultural. Yohana mendorong dilibatkannya semua tokoh adat dalam sistem kerja yang berkesinambungan.
Selain mengajak para perempuan Papua lebih berani berbicara, Yohana juga mendorong lembaga pendidikan tinggi seperti Muhammadiyah melakukan survei besar-besaran tentang kebutuhan dan pandangan penduduk asli Papua.
“Orang Papua banyak bilang tidak butuh pembangunan besar-besaran tapi duduk bareng bersama untuk melihat masalah yang ada di Papua. Harus ada survei besar-besaran,” kata Yohana.
“Tapi mendekati Papua tidak bisa orang dari luar, harus orang (mahasiswa) Papua sendiri yang mengambil datanya,” imbuh Yohana.
“Saya senang sekali Muhammadiyah semakin concern dengan Papua sejak lama, mungkin saya baru tahu belakangan saja. Banyak webinar, banyak dialog-dialog yang diinisiasi oleh Muhammadiyah tentang Papua, saya kira ini suatu langkah yang sangat baik ke depan untuk dialog people to people bukan state to people,” kata Ari Ruhiyanto memungkasi.
Komitmen Muhammadiyah untuk Papua
Wakil Ketua Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah Chairil Anwar menyatakan komitmen Muhammadiyah terhadap Papua sama besarnya dengan komitmen Muhammadiyah terhadap wilayah lain.
“Alhamdulillah dan kami sampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada penduduk dan para pimpinan di Papua. Alhamdulillah Muhammadiyah di Papua sudah bisa diterima dengan sangat baik dan itu terbukti sampai saat ini kita memiliki empat perguruan tinggi di Papua dan Papua Barat,” tuturnya.
Chairil menuturkan Muhammadiyah merasa memiliki kewajiban untuk membalas kepercayaan rakyat Papua yang telah memberikan kesempatan bagi Muhammadiyah hidup dan terlibat membesarkan Papua dan Papua Barat.
“Hasil dari diskusi kita akan kita sumbangkan ke Pemerintah Pusat untuk memberikan kebijakan-kebijakan yang mendukung terhadap keberadaan Papua dan Papua Barat menjadi provinsi yang tidak terpisahkan. (Duduk) bersama sama-sama rendah, (berdiri) sama-sama tinggi untuk memajukan Republik Indonesia yang kita cintai ini,” tegasnya.
Sumber Muhammadiyahorid