KRAMAT49 NEWS, JAKARTA – Panggilan ‘Kiai’ sulit ditemukan pada tokoh-tokoh teras Muhammadiyah. Terutama panggilan yang datang dari para warganya. Dibanding panggilan ‘Kiai’, warga Muhammadiyah lebih sering menggunakan panggilan keagamaan seperti ‘Ustaz’ atau ‘Buya’.
Di luar panggilan keagamaan, para pimpinan Muhammadiyah juga kerap dipanggil dengan sebutan ‘Pak’, atau gelar akademik seperti ‘Profesor’ atau ‘Doktor’. Panggilan paling hormat kepada pimpinan seringkali disampaikan dalam bentuk panggilan ‘Ayahanda’.
Fenomena ini menarik pertanyaan umum. Benarkah Muhammadiyah tidak memiliki ulama dan tidak pernah dipimpin oleh ulama?
Akhir Periodisasi Identitas Ulama Tradisional Muhammadiyah
Jawabannya tentu saja tidak benar. Muhammadiyah selalu memiliki ulama mumpuni di setiap zaman. Hanya saja peristilahan itu mulai surut semenjak transisi kepemimpinan Pimpinan Pusat Muhammadiyah di masa Kiai Ahmad Azhar Basyir (1990-1994).
Abdul Munir Mulkhan dalam Moral Politik Santri: Agama Dan Pembelaan Kaum Tertindas (2003) menulis kepemimpinan Muhammadiyah di bawah Kiai Azhar Basyir menandai sebagai masa transisi ‘Kepemimpinan Ulama’ kepada era ‘Kepemimpinan Intelektual’.
Ridho Al-Hamdi dalam Paradigma Politik Muhammadiyah Epistemologi Berpikir dan Bertindak Kaum Reformis (2020) menyebut bahwa sejak Muhammadiyah berdiri pada 1912 dari masa Kiai Ahmad Dahlan hingga masa Kiai Azhar Basyir, Ketua Umum PP Muhammadiyah selalu bergelar Kiai.
Kebutuhan transisi ‘Kepemimpinan Ulama’ kepada era ‘Kepemimpinan Intelektual’ dilakukan Kiai Azhar Basyir sebagai tajdid organisasi. Kekhawatiran Azhar muncul sebab tantangan zaman ke depan tidak berkutat pada teks keagamaan klasik saja.
Pada Sidang Tanwir 1993 misalnya, Azhar Basyir mendesak kualifikasi dan fungsi ulama bagi Muhammadiyah diperjelas. Tuntutan ini diperlukan agar Muhammadiyah dapat bergerak lebih leluasa dalam peri kehidupan kebangsaan modern yang memuat banyak masalah kemanusiaan dan tidak dapat dicari referensinya di dalam kitab kuning.
Meskipun menyarankan Kepemimpinan Intelektual, Azhar Basyir juga mengingatkan bahwa pilihan itu berpotensi menjebak Muhammadiyah pada pemikiran kritis dan elitis sehingga kurang akomodatif terhadap berbagai gaya hidup lapisan masyarakat akar rumput.
Sebelumnya pada tahun 1985, Azhar Basyir saat menjabat sebagai Ketua Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah menyampaikan kekhawatirannya ini.
Pada seminar nasional Muhammadiyah di Penghujung Abad 20 sebelum Muktamar ke-41 di Surakarta, Azhar Basyir mengatakan bahwa ulama yang dibutuhkan oleh Muhammadiyah tidak cukup hanya sekadar mereka yang cerdik-cendekia dalam ilmu Keislaman.
Ulama ideal menurutnya adalah rijaluddin, yakni ahli ilmu agama sekaligus mujahid dakwah dan pembimbing umat. Demikian terangkum dalam Kosmopolitanisme Islam Berkemajuan: Catatan Kritis Muktamar Teladan Ke-47 Muhammadiyah di Makasar 2015 (2016).
Tak heran, pasca Periode Kiai Azhar Basyir, para pimpinan Muhammadiyah hampir semuanya bergelar akademik dibanding gelar keagamaan. Abdul Munir Mulkhan dalam 1 Abad Muhammadiyah: Gagasan Pembaruan Sosial Keagamaan (2010) menulis sejak Muktamar ke-43 di Banda Aceh tahun 1995, Muhammadiyah didominasi oleh para cendekiawan seperti Ismail Sunny, Amien Rais, Ahmad Syafi’I Ma’arif, Yahya Muhaimin, Ahmad Watik Pratiknya, Asymuni Abdurrahman dan Sutrisno Muhdam.
Siapakah Ahmad Azhar Basyir?
Ahmad Azhar Basyir lahir di Karangkajen, Yogyakarta pada 21 November 1928. Ayahnya, Muhammad Basyir adalah santri dari tokoh Nahdlatul Ulama, Kiai Hasyim Asy’ari yang diutus khusus untuk membantu perjuangan Kiai Ahmad Dahlan dalam berdakwah di kawasan perkotaan.
“Karena tahu perjuangan di kota sangat berat, Mbah Hasyim Asy’ari mengutus salah satu santri terbaiknya untuk membantu perjuangan Kiai Ahmad Dahlan. Santri itu adalah Basyir, yang mengabdi seumur hidup membantu Kiai Ahmad Dahlan,” demikian tulis Doni Febriando dalam Kembali Menjadi Manusia (2014).
Selain kenyang mengenyam pendidikan Islam tradisional, Azhar Basyir juga belajar di beberapa sekolah modern milik Muhammadiyah. Sebelum meraih posisi sebagai ahli filsafat dan ahli hukum Islam, Azhar Basyir menempuh pendidikan di Universitas Baghdad, Irak dan Universitas Kairo, Mesir.
Sempat bergabung dalam pasukan tempur Batalion 36 Laskar Hizbullah dan Angkatan Perang Sabil pada agresi militer Belanda, perjalanan Azhar Basyir di Muhammadiyah tak lepas dari ajakan ayahnya, Muhammad Basyir saat menjabat sebagai Ketua Majelis Tarjih pada 1949 agar dirinya yang saat itu berusia 19 tahun bergabung dalam Majelis Itu.
“Ayah saya tidak sekolah, tapi pintar mengaji. Menulis Latin belajar sendiri, namun tulisan Arab ayah lebih bagus dari saya,” tutur Azhar Basyir terekam dalam bagian wawancara Muhammadiyah dan Perjalanan Bangsa Jilid IV oleh Pusat Data dan Analisa Tempo (2019).
Periode Awal Formatur 13 Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Azhar Basyir merupakan Ketua Pemuda Muhammadiyah pertama (1954). Dirinya yang juga pernah menjabat Ketua Majelis Tarjih (1985-1990) menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1990-1995 berdasarkan keputusan Muktamar ke-42 tahun 1990 di Yogyakarta.
Azhar Basyir menggantikan posisi Kiai AR Fachruddin yang telah memimpin Muhammadiyah selama 22 tahun. Kharisma keulamaan Kiai Azhar Basyir membuat AR Fachruddin dan Menteri Agama RI saat itu, Munawir Sjadzali ikut mendukung. Demikian ungkap Kiai Djarnawi Hadikusumo.
Hal mencolok yang dia lakukan pasca menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah adalah melakukan refungsionalisasi dan reformasi organisasi. Berbeda dengan periode sebelumnya yang menetapkan 21 orang Pimpinan, pada masa Azhar Basyir Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengalami perampingan menjadi 13 orang saja. Penciutan organisasi ini dilakukan semata-mata untuk efisiensi.
“Katanya kami dituntut Tajdid organisasi, kini ya kami lakukan,” kata Azhar Basyir di sela-sela Rapat Pleno Pertama di Gedung PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat yang kemudian pindah ke salah satu ruangan di Rumah Sakit Islam Cempaka Putih akibat pemadaman listrik dari hari Jumat hingga Sabtu di tahun 1990.
“Supaya ke-13 anggota PP itu bisa jadi pemikir-pemikir untuk kemajuan organisasi dan tidak terlibat dalam urusan-urusan kecil.” Demikian tercatat dalam wawancara Muhammadiyah dan Perjalanan Bangsa – Jilid V oleh Pusat Data Dan Analisa Tempo (2019).
Pendirian Sekretariat di Kantor PP Jakarta dan Kantor PP Yogyakarta
Di samping efisensi struktur kepengurusan, Kiai Azhar Basyir juga melakukan refungsionalisasi dan reformasi organisasi. Keduanya dilakukan untuk memperjelas tugas dan fungsi serta penyesuaian bebera organisasi tertentu di dalam struktur Pimpinan Pusat.
Abdul Munir Mulkhan dalam 1 Abad Muhammadiyah: Gagasan Pembaruan Sosial Keagamaan (2010) mencatat ada empat hal yang dilakukan. Antara lain membentuk pelaksana profesional yang digaji untuk mengelola manajemen kantor, menempatkan jabatan Pimpinan Pusat Muhammadiyah sebagai jabatan kehormatan yang menyebabkan tidak digaji selama memimpin, pengaturan pendanaan organisasi, dan peningkatan penyantunan kepada kaum dhuafa.
Sekretaris Muhammadiyah saat itu, Watik Pratiknya menegaskan bahwa pendirian Sekretariat Eksekutif itu berfungsi menyiapkan bahan-bahan kebijaksanaan untuk mengambil keputusan dan bekerja secara profesional.
“Tetapi mereka bukan PP Muhammadiyah,” kata Watik sebagaimana tercatat oleh wawancara Muhammadiyah dan Perjalanan Bangsa – Jilid V oleh Pusat Data Dan Analisa Tempo (2019).
Pengembangan Tafsir Organisasi
Sebagai sosok yang lurus, waspada dan menghindari pembicaraan politik, dakwah menjadi tema utama gerakan Muhammadiyah di masa kepemimpinannya. Upaya itu tidak lepas dari keresahannya terhadap semangat para ulama yang menggebu di bidang hukum dan ibadah, namun tidak memadai di bidang akhlak.
Pada Pengajian Ramadan PP Muhammadiyah tahun 1992, Azhar Basyir mengungkapkan Majelis Tarjih pun mengalami hal yang sama. Demikian tulis St. Nurhayati, dkk lewat Muhammadiyah dalam Perspektif Sejarah, Organisasi, dan Sistem Nilai (2020). Upaya pengembangan tafsir organisasi diperlukan sebagai bagian dari tajdid.
Dalam karyanya sendiri, Refleksi atas Persoalan Keislaman: Sekitar Filsafat, Hukum, Politik, dan Ekonomi(1991), Azhar Basyir menegaskan bahwa Tajdid memerlukan upaya serius mengubah pandangan alam (worldview) kaum muslimin bahwa dunia bukanlah penjara kaum beriman (sijnun mu’min) yang membuat pengamalan Alquran dan Sunnah tidak sejalan dengan semangat ajarannya.
Hal lain yang diperlukan adalah mengubah pandangan agama yang mencukupkan diri dengan warisan pemikiran lampau yang terbatas pada hal-hal ta’abudi (fikih ibadah) untuk kepuasan individu semata, sementara dunia yang menjadi ladang amal justru ditinggalkan.
Ahmad Najib Burhani dan Norshahril Saat dalam The New Santri: Challenges to Traditional Religious Authority in Indonesia (2020) menerangkan upaya Kiai Azhar Basyir mempromosikan tafsir organisasi yang merupakan kesinambungan dari usaha ulama Muhammadiyah sebelumnya seperti Hamka dan AR Fachruddin.
Hamka mengubah pendekatan kaku dan puritan Muhammadiyah menjadi kepada promosi nilai-nilai ketulusan, kejujuran, moderasi, dan resolusi. AR Fachruddin menggabungkan teologi, hukum dan pendekatan budaya kepada Islam dengan pemahaman fikih ikhtilaf yang mengacu pada pemecahan masalah. Sementara itu Azhar Basyir menggunakan pendekatan filosofis dan mendalam di dalam menafsirkan Islam.
“Keduanya sangat progresif ketika berhadapan pada tafsir Islam, tetapi sangat berhati-hati dalam melakukan kritik terhadap negara,” demikian catat Najib Burhani.
Wafat Saat Memimpin Muhammadiyah
Kiai Azhar Basyir menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah kedua yang memiliki jabatan tersingkat dan wafat saat memimpin Muhammadiyah. Beliau menyusul Kiai Faqih Usman yang wafat di tahun 1968 saat dirinya baru delapan hari menjabat sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah.
28 Juni 1994, Kiai Azhar Basyir wafat pada usia 66 tahun setelah dirawat di RSUP dr. Sarjito, Yogyakarta karena mengalami radang usus, gula, komplikasi jantung.
Dimakamkan di pemakaman umum Karangkajen, Yogyakarta, Kiai Azhar Basyir merupakan ahli fikih yang memiliki reputasi internasional.
Selain sebagai anggota tetap Majma’ Al-Fiqh al-Islami di bawah Organisasi Konferensi Islam se-Dunia (OKI), beliau pernah mendapatkan penghargaan tertinggi di bidang syariah Islam Al-‘Ulum wa Al-Funnun dari pemerintah Mesir pada tahun 1989.
Berbagai karya di bidang fikih dan filsafat Islam menjadi buku rujukan para akedemisi. Amelia Fauzia dalam Faith and the State A History of Islamic Philanthropy in Indonesia(2013) bahkan mencatat bahwa Azhar Basyir menawarkan gagasan progresif, rasional dan kritis penggunaan profit wakaf untuk pemberdayaan kelompok marginal hingga pinjaman kredit untuk kelompok ekonomi lemah non muslim.
Kepemimpinan Azhar Basyir yang akomodatif dan moderat dengan gagasan transformatif ‘Kepemimpinan Ulama’ kepada era ‘Kepemimpinan Intelektual’ dipuji oleh ilmuwan Muhammadiyah, Kuntowijoyo.
Dalam Muslim Tanpa Masjid (2018), Kuntowijoyo di pertengahan Oktober tahun 1994 mencatat bahwa kategori ulama dalam pengertian ‘intelektual’ lebih dibutuhkan umat Islam dalam menghadapi dinamika zaman dibanding kategori ulama dengan kemampuan sebagai ‘ulama’ semata.
Di masa masyarakat industri mendatang (atau saat ini), Kuntowijoyo menilai tipe tradisional seperti ‘Kiai’, ‘guru’, dan ‘ulama’ menurutnya akan berubah fungsi menjadi ‘mitra’ dibandingkan sebagai pemilik otoritas. Perbedaan dikotomis keilmuan berdasarkan ‘agama’ dan ‘dunia’ juga tidak relevan sehingga dalam menghadapi ghazwul fikri, umat Islam harus menguasai dua poros itu. (afn)
sumber Muhammadiyah