Kramat 49 News – SURAKARTA— Anggota Majelis Tabligh PP Muhammadiyah Syamsul Hidayat mengatakan nikah sirri yang dikenal oleh masyarakat Indonesia sekarang ini ialah pernikahan yang dilakukan oleh wali atau wakil wali dan dihadiri oleh para saksi, tetapi tidak dilakukan di hadapan Petugas Pencatat Nikah. Dalam pelaksanaannya tidak melibatkan aparat resmi pemerintah yang berada di Kantor Urusan Agama (umat Islam) atau di Kantor Catatan Sipil (non muslim).
“Istilah nikah sirri atau nikah yang dirahasiakan memang dikenal di kalangan para ulama, paling tidak sejak masa imam Malik bin Anas. Hanya saja nikah sirri yang dikenal pada masa dahulu berbeda pengertiannya dengan nikah sirri pada masa sekarang,” ujar Syamsul dalam acara Kajian Tarjih yang diselenggarakan Universitas Muhammadiyah Surakarta pada Selasa (12/10).
Syamsul menuturkan pada awalnya hukum Islam tidak secara konkret mengatur pencatatan perkawinan. Pada masa Rasulullah saw maupun sahabat perkawinan sah apabila telah memenuhi unsur-unsur dan syarat-syaratnya. Untuk diketahui warga masyarakat, pernikahan yang telah dilakukan hendaknya diumumkan kepada khalayak luas, antara lain melalui media walimatul-‘ursy.
Dalam hadis dikatakan, “Umumkanlah pernikahan dan pukullah rebana” (HR. Ibnu Majah dari ‘Aisyah). Hadis lain menyebutkan bahwa “Adakanlah walimah (perhelatan) meskipun hanya dengan memotong seekor kambing” (HR. al-Bukhari dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf). Dua hadis ini mengindikasikan bahwa pernikahan tidak boleh dilakukan secara rahasia (sir) melainkan harus diumumkan ke khalayak ramai.
Dalam perkembangan selanjutnya karena perubahan dan tuntutan zaman dan dengan pertimbangan kemaslahatan, di beberapa negara muslim telah dibuat aturan yang mengatur perkawinan dan pencatatannya, tak terkecuali di Indonesia. Hal ini dilakukan untuk ketertiban pelaksanaan perkawinan dalam masyarakat, adanya kepastian hukum, dan untuk melindungi pihak-pihak yang melakukan perkawinan seperti nafkah isteri, hubungan orang tua dengan anak, kewarisan, dan lain-lain.
“Kalau terjadi perselisihan di antara suami isteri, atau salah satu pihak lari dari bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh haknya masing-masing, karena dengan akta nikah suami isteri memiliki bukti otentik atas perkawinan yang terjadi antara mereka,” terang dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta ini.
Hikmah dengan adanya pencatatan perkawinan selain substansinya untuk mewujudkan ketertiban hukum juga mempunyai manfaat preventif, seperti supaya tidak terjadi penyimpangan rukun dan syarat perkawinan, baik menurut ketentuan agama maupun peraturan perundang-undangan. Juga upaya untuk menghindarkan terjadinya pemalsuan identitas para pihak yang akan kawin, seperti laki-laki yang mengaku jejaka tetapi sebenarnya dia mempunyai isteri dan anak.
“Mencatatkan perkawinan mengandung manfaat atau kemaslahatan, kebaikan yang besar dalam kehidupan masyarakat. Dengan pertimbangan tersebut, maka bagi warga Muhammadiyah, wajib hukumnya mencatatkan perkawinan yang dilakukannya,” tegas Syamsul.
Sumber Muhammadiyahorid