Indonesia tidak pernah menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Barangkali Indonesia, sebagai negara Muslim terbesar dan termoderat di dunia, “tidak akan pernah” berkawan dengannya, apabila syarat-syarat yang “paling masuk akal” tidak dipenuhi oleh Tuan Natan, alias Benjamin Netanyahu, Perdana Menteri Israel.
Syarat-syarat yang sangat penting tersebut adalah: pertama, Israel harus mengakui kemerdekaan negara Palestina; kedua, beri’tikad baik dalam mengupayakan perdamaian; ketiga, menahan diri dari segala aktivitas militer yang dehumanistik; keempat, berhenti mencaplok wilayah Palestina untuk hunian warga Israel; dan kelima, yang paling penting, berlega-hati menaati pelbagai keputusan hukum internasional (resolusi perdamaian, hukum humaniter internasional dan hukum HAM internasional).
Selama Tuan Natan mangkir dari segala syarat penting yang diajukan, selama itu pula Indonesia berdiri di barisan paling depan sebagai tameng untuk rakyat Palestina.
Urgensi
Syarat-syarat tersebut sangatlah penting, karena akan mendorong terwujudnya perdamaian yang hakiki di antara kedua belah pihak.
Adalah omong kosong semata, tatkala Israel selalu mengklaim upaya offensive tindakan militer Israel Defense Forces (IDF) hanyalah strategi bertahan mereka (bertahan dengan aktif menyerang) dari gempuran rudal Hamas. Sebenarnya, Hamas tidak akan sedemikian bersemangat bermain kotor dengan cara menyerang pemukiman Israel, jika IDF tidak berlaku brutal. Pasokan senjata dari Rusia dan Iran juga dianggap masuk akal, karena hingga sekarang, Amerika Serikat (AS) menjadi backing Israel yang paling setia.
Hal ini bukanlah logika “telur dan ayam” yang tiada berujung pangkal. Tetapi argumen faktual bahwa akar persoalan yang paling mendasar ada di sisi Israel sendiri.
Menurut sumber kredibel yang meminta identitasnya dirahasiakan, dari lingkaran petinggi Hamas dinyatakan bahwa, sebenarnya jika IDF berhenti membunuh dan menjajah rakyat Palestina, mereka siap bekerjasama dengan Fatah, berbagi peran di Palestinian National Authority (PNA/PA), mengurangi ketergantungan militer dengan Rusia dan Iran, serta fokus pada pembangunan infrastruktur dan sumber daya manusia.
Dari sisi Israel sendiri, merujuk kepada pelbagai perdebatan yang selama ini terjadi di gedung parlemen (Knesset), “ketakutan yang mendarah-daging” selalu muncul dari lingkungan partai Likud yang sangat konservatif, garis keras dan revisionis-ekspansionis. Sementara itu Tuan Natan, sebagai nahkoda eksekutif Israel adalah kader terbaik Likud. Eksekutor segala keputusan Natan, Avigdor Lieberman selaku Menteri Pertahanan Israel, adalah seorang Yahudi Rusia (aliran Jabotinskian revisionis) berdarah dingin. Artinya, di luar partai Likud, ada banyak partai Yahudi Israel lainnya yang mengidamkan perdamaian.
Jika penguasa Israel saat ini yang mendominasi gerbong legislatif dan eksekutif mulai menaruh perhatian mengenai pentingnya nilai luhur kemanusiaan ketimbang ideologi agama yang buta, maka itu artinya, hal yang sama pun akan terjadi di sisi Palestina: Hamas, Fatah dan PA.
Konsistensi
Yang perlu kita ketahui bahwa, di sepanjang kepemimpinan Indonesia, tidak ada satu pun presiden yang membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Pada era Orde Lama, karena Soekarno sangat anti imperialisme, maka tentu saja sangat anti Israel. Baginya Israel hanyalah penjajah yang sama seperti Jepang, Belanda dan Portugis yang pernah mengotori tanah Nusantara.
Di saat Orde Baru, Soeharto pernah “main belakang” dengan Israel, membeli sejumlah pesawat tempur dan melatihkan pilot-pilot ABRI ke Israel. Tetapi hubungan diplomatik resmi, tidak pernah dibuka. Ada pula hubungan perdagangan, tapi semuanya bersifat serba rahasia, gelap, tak terendus publik dan dilindungi oleh tim operasi khusus.
Saat Reformasi bergulir, Habibie melanjutkan keputusan Soeharto mengenai ketiadaan hubungan diplomatik Indonesia-Israel. Sementara itu Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, mencoba secara aktif menjadi juru damai antara Israel dan Palestina. Hal yang diajukannya sederhana, yakni Israel mengakui kemerdekaan Palestina, dan Palestina siap hidup berdampingan dengan Israel. Singkat kata, berhenti berperang, mulai bekerjasama.
Di era Gus Dur juga sempat terdengar rumor bahwa hubungan diplomatik akan dibuka. Akan tetapi, itu hanyalah rumor belaka dan Indonesia tetap dengan pendiriannya: tidak ada hubungan bilateral dengan Israel. Terlebih di era itu, Perdana Menteri Israel yang tampaknya pro perdamaian, Yitzak Rabin, terbunuh oleh para aktivis Israel garis keras.
Di era Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo, pandangan jernih bahwa Israel adalah penjajah, tetap dipertahankan. Selama itu pula, tidak ada hubungan antar negara antara Indonesia dan Israel. Bahkan ketika Amerika – dan sekarang ini, Australia – hendak memindahkan kedutaan mereka dari Tel Aviv ke Jerusalem, Indonesia mengecamnya.
Kita juga bisa menebak bahwa, kepemimpinan Indonesia berikutnya tidak akan rela mengakui “penjajah” sebagai kawan akrab. Baik oleh karena alasan politik maupun ideologis, telah terpatri di dalam jiwa setiap anak bangsa bahwa, “…penjajahan di atas dunia harus dihapuskan!”
Argumentasi
Kita tahu bahwa Israel berulang-kali menang perang, baik melawan Palestina maupun negara-negara Arab di sekitarnya. Kini, Israel adalah negara yang paling dilindungi oleh Amerika. Akan tetapi, bukan berarti mereka bisa bertindak semaunya sendiri. Penjajahan tetaplah penjajahan: suatu hal yang nista.
Kenistaan penjajahan, sangat dikecam oleh ajaran Islam. Bahkan, hal itu dianggap sebagai dosa besar. Karena itu Islam menyarankan “membebaskan budak (penjajahan)” bagi para pemeluknya. Di samping itu, Islam juga mengutamakan perdamaian, keikhlasan dan keridhaan ketimbang konflik, permusuhan dan perceraian.
Dalam hal-hal yang bersifat prinsipil ini tampaknya kaum Muslim Indonesia sangatlah taat. Aspirasi Muslim Indonesia mengenai Islam yang anti penjajahan dan pro perdamaian ini, sangat diperhitungkan oleh pemerintah Indonesia. Implikasinya dalam politik internasional adalah, dukungan permanen terhadap Palestina dan perdamaian dunia.
Meskipun Islam di Indonesia dianggap lebih moderat, inklusif, toleran, menjunjung nilai ke-Nusantara-an, bukan berarti bisa dijadikan sebagai argumen untuk mendukung Israel dan mengabaikan Palestina. Sekali lagi, dengan gagasan “Islam Nusantara”, itu artinya Indonesia mendukung perdamaian, bukan perang.
Hasnan Bachtiar, Ketua PCI IMM Australia, Aktivis JIMM dan Mahasiswa the Centre for Arab and Islamic Studies (CAIS), the Australian National University (ANU)
Sumber: Majalah SM Edisi 24 Tahun 2018