KRAMAT49 NEWS, MEDAN—Pada 8 Desember 2021 lalu, Kementerian Agama (Kemenag) mengubah kriteria awal bulan. Semula imkan rukyat dengan ketinggian hilal 2 derajat, sudut elongasi 3 derajat, dan umur bulan 8 jam. Kemudian diubah menjadi imkan rukyat dengan ketinggian hilal 3 derajat, dan sudut elongasi 6,4 derajat. Perubahan ini juga bersamaan dengan 3 Negara Asia Tenggara lainnya yaitu Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura.
Pakar Falak Muhammadiyah Arwin Juli Butar-butar mengatakan posisi hilal untuk awal bulan Ramadan 1443 H di Indonesia secara umum berada pada ketinggian di bawah 2 derajat. Jika Kemenag telah mengubah kriteria awal bulan, maka tahun ini akan semakin besar potensi terjadinya perbedaan. Namun seperti lazimnya selama ini, putusan Kemenag baru akan diputuskan sesaat setelah pelaksanaan rukyat tanggal 29 Sya’ban 1443 yang akan datang, dengan menunggu laporan dari sejumlah titik dan jejaring rukyat yang telah ditetapkan.
“Muhammadiyah sendiri telah menetapkan awal Ramadan 1443 H jatuh pada hari Sabtu, 2 April 2022. Karena itu perbedaan dan persamaan memulai awal Ramadan 1443 H keduanya masih memungkinkan dan menarik ditunggu,” ujar Arwin sebagaimana yang diterima tim redaksi Muhammadiyah.or.id pada Selasa (08/03).
Perbedaan penentuan awal bulan, kata Arwin, sesungguhnya bisa dilihat dalam empat hal, di antaranya: Pertama, hal ini merupakan perintah dan persoalan agama (fikih) yaitu terkait puasa dan hari raya, setiap Muslim ‘bebas’ berijtihad menjalankan perintah agama dan menafsirkan cara melaksanakannya, dalam hal ini apakah dengan rukyat, dengan hisab, dengan imkan rukyat, dengan kalender Islam global, atau cara dan metode lainnya.
Kedua, penentuan awal bulan merupakan kasus astronomi, sehingga perlu ditelaah secara astronomis, berbagai teori, konsep, dan rumus dari para pakar akan muncul tentang hilal dan awal bulan. Normalnya dalam dunia ilmiah-akademik akan ada banyak pandangan dan kesimpulan tentangnya, ini hal lazim.
Ketiga, penentuan awal bulan merupakan fenomena sosial, sehingga penting didekati secara sosiologis, memperhatikan aspek kultur dan histori merupakan keniscayaan, terlebih di era dan negara demokrasi seperti Indonesia. Aspek sosial-sosiologis inipun sangat dinamis, bahkan tak jarang menimbulkan ketegangan. Karena itu pula sebuah fenomena sosial yang didekati semata dengan cara prosedural-birokratik adalah bukan cara tepat, apalagi solusi terbaik.
Keempat, saat bersamaan penentuan awal bulan merupakan peristiwa politik karena secara formal diputuskan Negara dalam hal ini Kemenag, karena itu pula tidak bisa dihindari adanya penerimaan, penolakan, dan ‘tafsir’ dari masyarakat, dengan itu pula keputusan Negara itu bisa rentan politis atau dipolitisir.
“Dengan kompleksitas empat hal ini maka cara tepat dan terbaik menyelesaikan persoalan perbedaan penentuan awal bulan di Indonesia tidak cukup dari satu perspektif yang bersifat prosedural-birokratik (keputusan Pemerintah), misalnya hanya dengan mengubah kriteria awal bulan,” ujar anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah ini.