
Ada Apa Dibalik Nama Hamka ?
Kramat49-Jakarta, Sebagai salah satu tokoh dalam persyarikatan Muhammadiyah, Buya Hamka menjadi sosok yang sangat dikenal lewat karya sastra dan kajian keilmuannya. Namun, hanya sedikit yang menyadari bentuk akronim “Hamka” yang berasal dari “Haji Abdul Malik Karim Amrullah” memiliki
Dilansir dari muhammadiyah.or.id., pria yang lahir di Sungai Batang, Maninjau, Sumatra Barat tanggal 17 Februari 1908, sejatinya menyandang nama ayahnya yang juga seorang ulama sekaligus menyandang nama seorang anak dari guru ayahnya.
Nama lengkap Abdul Malik Karim Amrullah, sejatinya berasal dari dua nama yang digabungkan, yakni: Abdul Malik (anak dari Syekh Ahmad Khathib Al-Minangkawabi di Makkah), dan Karim Amrullah (nama lengkap dari ayahnya, Haji Abdul Karim Amrullah atau umum dikenal dengan Haji Rasul). Hal tersebut telah dituliskan oleh Mohammad Damami dalam buku “Tasawuf Positif : Dalam Pemikiran HAMKA” Tahun 2000.
Dalam buku “Hamka di Mata Hati Umat” yang terbit tahun 1983, perubahan nama Abdul Malik Karim Amrullah menjadi Hamka mulanya terjadi setelah dirinya menunaikan ibadah haji pada tahun 1972.
Terdapat banyak alasan terkait perubahan nama tersebut. Salah satunya untuk melepaskan diri dari bayang-bayang nama besar ayahnya sebagai ulama terkenal di Pulau Sumatra sekaligus murid dari ulama besar Syekh Ahmad Khathib Al-Minangkawabi.
Baca Juga: Ulama Arab-Hadrami dan Peran Keagamaannya di Nusantara
Namun, alasan lainnya adalah untuk memudahkan orang lain dalam menyebut dan mengingat namanya. Menurut ulama Muhammadiyah ini yang dirangkum dalam buku “Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka” tahun 1983, dengan nama Haji Abdul Malik Karim Amrullah, orang lain akan terlalu panjang untuk menyebutkan atau menulisakannya.
Terlebih, dengan profesinya sebagai seorang ulama dan penulis, mendorongnya untuk menyingkat namanya agar mudah disebutkan dan diingat oleh masyarakat. Suami dari Siti Raham sendiri tercatat pernah menjadi wartawan di berbagai surat kabar, seperti: Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Panji Masyarakat.
Dalam dunia kepengarangan, Buya Hamka terkadang menggunakan nama samaran pada setiap karangan yang dituliskannya. Nama samaran yang dipergunakannya antara lain: A.S. Hamid, Indra Maha, dan Abu Zaki.
Baca Juga: Allah Meninggikan Derajat Orang yang Beriman dan Berilmu
Sebagai seseorang yang berpikiran progresif, Buya Hamka tergolong penulis yang produktif dalam menyampaikan gagasan pemikirannya. Pandangannya secara aktif dan masif disampaikannyan melalui ceramah, pidato, dan berbagai macam karya tulisan lainnya. Tentunya, dengan gaya bahasa yang ringan, mudah dimengerti, dan kontekstual dengan keadaan masa kini.
Hingga wafatnya pada 24 Juli 1981, Buya Hamka terhitung telah mencetak setidaknya 85 karya tulis. Namun, nyatanya masih banyak karya peninggalan ulama Muhammadiyah ini yang belum terkumpul. Seperti beragam tulisan beliau yang tersebar di pelbagai surat kabar.
Dalam buku “Pribadi dan Martabat Buya Hamka” yang terbit tahun 1983, salah seorang putra beliau yang bernama Rusyi menyebut, keseluruhan karya milik ayahnya sebanyak 118 jilid tulisan yang telah dibukukan. Namun, sejatinya masih ada yang belum terkumpul dan dibukukan.
Dengan diabadikannya nama besar beliau sebagai salah satu Amal Usaha Muhammadiyah, tidak sebatas menunjukan bahwa dirinya adalah seorang ulama Muhammadiyah. Lebih jauh, Buya Hamka telah banyak mengajarkan kita arti penting sebuah toleransi dan pentingnya menjaga akidah di sepanjang hidup kita. (*)