Khazanah

Buya Hamka Ditengah Polemik Perayaan Hari Besar Keagamaan

Kramat49 – Jakarta, Merayakan hari besar keagamaan menjadi hal rutin yang dilakukan oleh setiap masyarakat. Termasuk di Indonesia, perayaan hari besar keagamaan turut masuk dalam jadwal libur nasional di setiap tahunnya.

Namun pernah ada satu peristiwa yang sempat menjadi polemik tersendiri pada masa itu terkait perayaan hari besar keagamaan. Buya Hamka menjadi tokoh yang terlibat langsung dalam polemik tersebut.

Dilansir dari muhammadiyah.or.id, Tahun 1981, menjadi tahun yang berat bagi Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pada tahun tersebut, tepatnya pada 1 Jumadil Awal 1401/7 Maret 1981, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menetapkan fatwa haramnya Perayaan Natal Bersama bagi umat Islam.

Jika kita kilas balik, Perayaan Natal Bersama ini tidak lepas dari peristiwa koinsidensi (terjadinya dua peristiwa dalam waktu yang sama) pada tahun 1968. Jan S. Aritonang dalam buku “Sejarah perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia” tahun 2004 menuliskan, pada tahun tersebut, Hari Raya Idulfitri dan Hari Raya Natal jatuh berdekatan, yakni pada 1-2 Januari dan 21-22 Desember.

Koinsidensi ini mengakibatkan beberapa instansi pemerintah menyelenggarakan dua perayaan hari besar keagamaan itu secara serempak semacam “Parade Doa” dari berbagai perwakilan agama. Puncaknya, diumumkannya Fatwa Haram Perayaan Natal Bersama sebagai buah dari kritik terhadap ‘Perayaan Doa’ yang sudah ada sejak tahun 1968 hingga terbentuknya MUI pada tahun 1975.

“Parade Doa” itu sendiri menjadi akar dari kritik masyarakat disebabkan tayangan di televisi yang memperlihatkan para pejabat beragama muslim ikut menyalakan lilin dan berdiri menyanyikan lagu Natal. Termasuk, pelaksanaan perayaan Natal yang semula hanya umat Katolik dan Protestan, akhirnya melibatkan pemeluk agama lain dalam kepanitiaan dan pelaksanaannya.

Baca Juga: Kata Akal dalam Al Quran Menunjukkan Umat Islam Harus Terus Berpikir

Pada 27 Juli 1975, Buya Hamka baru saja dilantik sebagai Ketua Umum MUI Pertama. Berdirinya MUI saat itu berfungsi sebagai mediator antara ulama dan pemerintah untuk menerjemahkan kebijakan pemerintah mengenai kebijakan pembangunan nasional.

Akibat polemik yang tidak berkesudahan sekaligus guna membentengi akidah umat, Komisi Fatwa MUI pada 7 Maret 1981 mengeluarkan fatwa tentang haramnya hukum bagi umat Islam untuk melaksanakan dan mengikuti perayaan natal karena termasuk dalam perkara syubhat.

Fatwa tersebut ditandatangani oleh Ketua Komisi Fatwa MUI, K.H.M. Syukri Ghozali dan Sekretaris Drs. H. Masudi. Sebelum sampai ke Ketua Umum MUI, fatwa tersebut ternyata ‘bocor’ melalui Buletin Majelis Ulama No. 3/April 1981. Akibat banyak media mengutip, fatwa pelarangan tersebut menjadi konsumsi publik dan sempat menimbulkan reaksi pro dan kontra ditengah masyarakat.

Menariknya, sehari setelah fatwa itu beredar lewat Buletin, dimuat juga surat pencabutan peredaran fatwa itu melalui Surat Keputusan tertanggal 30 April 1981 yang ditandatangani oleh Ketua Umum MUI, Prof. Dr. Hamka, dan Sekretaris Umum MUI, H. Burhani Tjokrohandoko.

Di dalam surat tersebut, disampaikan klarifikasi bahwa menghadiri perayaan antar agama adalah wajar. Kecuali kegiatan yang bersifat peribadatan, seperti: Misa, Kebaktian dan sejenisnya. Bagi umat islam, tidak ada halangan untuk hadir semata-mata menghormati undangan pemeluk agama lain yang kegiatannya bersifat seremonial, bukan ritual.

Merasa Bertanggung jawab, Buya Hamka membuat keputusan yang mencengangkan dengan mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum MUI. Sekaligus menarik Fatwa MUI tanggal 7 Maret tersebut yang lahir karena desakan masyarakat. Namun dalam prosesnya Departemen Agama mengalami miskomunikasi antara para ulama dengan pemerintah.

Baca Juga: Lima Ciri Manusia Dicintai Allah

Buya Hamka secara resmi meletakkan jabatan sebagai Ketua Umum MUI pada 18 Mei 1981. Meski telah ditarik, ulama Muhammadiyah ini mengakui dalam majalah Panji Masyarakat 20 Mei 1981 adanya kesalahpahaman antara MUI dengan Menteri Agama soal bocornya fatwa itu.

Namun, nilai fatwa itu tetap sah dan benar karena dokumen tersebut sebelumnya telah diolah dan ditetapkan oleh para ahli agama dari ormas Islam dan lembaga Islam tingkat nasional, termasuk Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Sarekat Islam, dan Majelis Dakwah Islam Golkar.

Akhirnya untuk mengembalikan situasi agar kembali kondusif, Menteri Agama, Alamsjah Ratu Prawiranegara mengeluarkan Surat Edaran tanggal 2 September 1981 tentang Penyelenggaraan Peringatan Hari-Hari Besar Keagamaan yang menerangkan, dalam hal peribadatan atau adanya unsur peribadatan, maka hanya pemeluk agama yang bersangkutan yang menghadirinya.

Pejabat pemerintah yang hadir dalam upacara keagamaan dari suatu agama yang tidak dipeluknya hendaklah dalam sikap pasif, tetapi khidmat. Selama kegiatan perayaan yang diselenggarakan tidak ada unsur ibadat, dapat dihadiri dan diikuti oleh pemeluk agama lain.

Demikianlah kebijaksanaan yang dicontohkan oleh Buya Hamka. Ditengah polemik terkait perayaan hari besar keagamaan saat itu, ulama tersebut tetap bersikap mengutamakan keutuhan umat islam dan toleransi antar umat beragama lainnya tanpa mengurangi akidah. (*)

Related Articles

Back to top button