Khazanah

Awal Buya Hamka Bersuara Lewat Sastra

Kramat49 – Jakarta, Para penggiat sastra tentu tidak asing dengan tokoh Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau dikenal sebagai Buya Hamka.

Melalui pelbagai karya sastranya yang terkenal, seperti: Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Merantau ke Deli, Ayahku, dan karya lainnya, namanya kian dikenal dan menjadi salah satu tokoh penting dalam dunia sastra Indonesia.

Dilansir dari muhammadiyah.or.id., pria kelahiran Sungai Batang, 17 Februari 1908. ini sejak kecil telah menghabiskan banyak waktunya untuk membaca di Perpustakaan Zainaro. Kegemarannya itu yang mengantarkannya menjadi seorang penulis novel dan pebagai karya lainnya. Mulai dari pelbagai macam artikel di surat kabar hingga pelbagai buku.

Perjalanan hidup seorang Hamka muda mulai menuntunnya untuk berguru kepada beberapa tokoh bangsa. Tidak sedikit dari mereka yang berasal dari Muhammadiyah. Saat memulai perantauannya di Pulau Jawa, Hamka muda memulai petualangannya dengan belajar mengenai pergerakan islam modern di Yogyakarta.

Disanalah pertama kalinya Hamka muda bertemu dengan Ki Bagus Hadikusumo, serta mulai berguru padanya mengenai ilmu agama.

Pada generasi awal berdirinya persyarikatan Muhammadiyah, banyak diantara anggotanya yang seorang penulis dan peminat karya sastra. Bahkan tidak sedikit dari beberapa pesantren yang memiliki kitab kuning dengan tulisan sastra. Oleh sebab itu, karya prosa bukan menjadi hal baru dalam lingkungan warga Muhammadiyah.

Baca Juga: Refleksi Kemodernan dan Alienasi Keberislaman

Buya Hamka ternyata memiliki kemampuan bahasa Arab yang tinggi. Melalui kemampuan bahasa asing tersebut, dirinya rutin membaca dan mendalami alam pikir para pujangga dari Timur Tengah, seperti: Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas Al-Aqqad, Mustafa Al-Manfaluti, dan Husayn Haykal.

Agar seimbang, Pria keturunan Minangkabau ini terus memperluas khazanah keilmuannya melalui karya sastra yang ditulis oleh pengarang Eropa yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Arab, seperti: Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti.

Buya Hamka memulai karir kepenulisannya saat memimpin majalah Pedoman Masyarakat di Medan tahun 1936. Kedatangannya ke Medan tersebut atas permintaan Muhammad Rasami, seorang tokoh Muhammadiyah dari Bengkalis. Pada majalah tersebut, Hamka mulai menggeluti khazanah kesusastraan melalui novel berseri dan cerita pendek yang tayang di majalah tersebut.

Tenyata, cukup banyak kolom artikel di majalah Pedoman Masyarakat yang memuat karya pemikiran nasionalis. Khususnya pemikiran karya Mohammad Hatta dan Haji Agus Salim. Akhirnya, pria yang akrab disapa Hamka ini memutuskan menghadirkan tulisan yang sarat dengan landasan ilmu pengetahuan yang kokoh sebagai sebuah karya yang berkualitas.

Baca Juga: Memori Tentang KH Ahmad Dahlan di Majalah Pandji Masjarakat

Seiring waktu, Buya Hamka menggunakan karya sastra sebagai media dalam menyampaikan kritik terhadap beberapa nilai dan/atau aturan dalam adat yang dinilai tidak kompatibel dengan ajaran islam. Selain itu, karya sastra juga digunakannya sebagai media dakwah keagamaan.

Menurutnya, alih-alih menjadi pendakwah yang menyampaikan risalah islam dengan cara yang monoton, kaku, dan cenderung membosankan. Karya sastra justru membuat penyampaiannya menjadi lebih ringan, kontekstual, dan dekat pada pembacanya. Baginya, karya prosa tidak sebatas sebuah produk seni sastra, melainkan dapat berperan sebagai media dakwah

Salah satu contonya dalam karangan Di Bawah Lindungan Ka’bah, Buya Hamka mengisahkan kemalangan seorang pemuda yang terhalang cintanya karena adat. Melalui karangan tersebut, Buya Hamka menyindir adat sekaligus menyelipkan nilai agama dalam karyanya. Ditangannya, karya sastra berperan sebagai media dakwah yang dapat mudah diterima oleh masyarakat luas.

Melalui segenap karyanya, Buya Hamka tidak sebatas dikenang sebagai seorang ulama dan sastrawan di tingkat nasional. Buah karyanya turut mendapat pengakuan dari para akademisi dan masyarakat di Timur Tengah dan Malaysia.

Pengakuan tersebut diberikan oleh Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir pada tahun 1959, melalui penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa. Kemudian, penganugerahan gelar kehormatan di bidang kesusastraan dari Universitas Nasional Malaysia pada tahun 1974. Dan perolehan gelar Profesor dari Universitas Prof. Dr. Moestopo.

Hingga kini, nama besarnya diabadikan menjadi salah satu nama dari Amal Usaha Muhammadiyah, yakni Universitas Prof. Dr. Hamka atau disingkat “Uhamka”. (*)

 

Related Articles

Back to top button