
KHGT Dipastikan Berbasis Kebutuhan, Rofiq Muzzakir: Ranah Otoritas Epistemik
Kramat49-Yogyakarta, Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Muhamad Rofiq Muzakkir, menegaskan bahwa penyatuan Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) tidak memerlukan otoritas politik, melainkan otoritas epistemik berbasis keilmuan.
Dilansir dari muhammadiyah.or.id., pernyataan tersebut disampaikan dalam acara Halaqah Nasional KHGT di Yogyakarta, Sabtu (19/04).
Dalam paparannya, Rofiq menguraikan kerangka fiqh siyāsah untuk menjawab pertanyaan apakah otoritas politik diperlukan dalam penentuan awal bulan Hijriah, dengan merujuk pada pemikiran klasik dan kontemporer.
Dirinya menggunakan dua kerangka analisis dari diskursus fiqh siyāsah untuk mengelaborasi isu otoritas dalam KHGT.
Pertama, ia merujuk pada pemikiran Syihāb al-Dīn al-Qarāfī (w. 684/1285), seorang ulama Usuli bermazhab Maliki, yang mengemukakan tiga teori dalam kitabnya al-Ihkām fī al-Tamyīz al-Fatāwa ʿan al-Aḥkām wa Taṣarrufāt al-Qādī wa al-Imām: pembatasan otoritas hukum pemerintah, obiter dictum (pendapat otoritas politik yang tidak mengikat), dan sui juris (berdiri sendiri).
Teori-teori ini menekankan bahwa otoritas hukum pemerintah harus dibatasi agar tidak mencampuri ranah ijtihad keagamaan yang bersifat epistemik.
Kedua, dirinya mengacu pada pemikiran cendekiawan kontemporer Khaled Abou El Fadl (lahir 1963) dalam bukunya Reasoning with God. Abou El Fadl menyoroti pentingnya pengakuan negara terhadap pluralitas penafsiran hukum Islam, memastikan bahwa hukum Islam diterapkan secara proporsional tanpa dominasi otoritas politik.
“Meskipun berasal dari zaman yang berbeda, Qarāfī dan Abou El Fadl memiliki titik temu: penerapan hukum Islam harus organik, pluralistik, dan tidak sentralistik,” jelas Rofiq.
Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah menegaskan, fiqh siyāsah adalah cabang pemikiran yang tetap relevan untuk menjawab tantangan modern, termasuk isu penyatuan kalender Hijriah.
Rofiq memaparkan argumen utamanya, KHGT meskipun berpotensi menyatukan penanggalan Hijriah umat Islam secara global, tidak memerlukan otoritas politik, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Setidaknya terdapat dua alasan utama. Pertama, sepanjang sejarah Islam, penentuan awal bulan Hijriah tidak pernah berada di bawah otoritas politik, bahkan pada masa khalifah tunggal.
“Penentuan awal bulan adalah kewenangan mazhab-mazhab fikih, bukan otoritas politik,” ujarnya.
Kedua, pendekatan politik bertentangan dengan karakter ijtihad dalam hukum Islam yang bersifat pluralistik dan berakar dari masyarakat (bottom-up), bukan sentralistik atau memaksa (top-down).
“KHGT adalah ranah otoritas epistemik, yakni keilmuan, bukan domain politik yang mengikat secara hukum,” tegas Rofiq.
Dalam konteks modern Indonesia, kewenangan ini dijalankan oleh organisasi masyarakat seperti Muhammadiyah, yang memiliki kapasitas untuk melakukan ijtihad kolektif.
Rofiq menjelaskan bahwa pemerintah dapat merumuskan konsep kalender atau menetapkan kriteria, tetapi hanya dalam kapasitas sebagai otoritas epistemik, bukan sebagai penguasa yang mengikat.
Baca Juga: Hukum Memakan Daging Hewan Bertaring
Dirinya memberi contoh kasus pemerintah Turki yang menyusun KHGT, pemerintah Arab Saudi yang merumuskan kalender Umm al-Qurā, dan MABIMS (Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, Singapura) yang menetapkan kriteria imkān al-ruʾyah dengan konsep wilāyat al-ḥukm.
“Semua ini adalah hasil ijtihad yang tidak bersifat mengikat secara mutlak. Keputusan pemerintah tidak dapat menafikan ijtihad masyarakat lain,” ungkapnya.
Menurut Rofiq, karakter hukum Islam yang organik memungkinkan dinamisme dan pluralitas penafsiran.
“Hukum Islam tumbuh dari masyarakat, bukan dipaksakan dari atas. Inilah yang membuat KHGT relevan sebagai ijtihad,” tambahnya.
Sebagai langkah ke depan, Rofiq mengusulkan agar Muhammadiyah membangun kolaborasi internasional berbasis keilmuan untuk mendukung implementasi KHGT.
“Karena KHGT adalah otoritas epistemik, kita perlu menjalin kerja sama dengan komunitas ilmiah global, bukan mengandalkan otoritas politik,” katanya.
Kolaborasi ini diharapkan dapat memperkuat legitimasi KHGT melalui dialog akademik dan penelitian bersama, sekaligus memastikan penerapannya sesuai dengan prinsip-prinsip ijtihad yang pluralistik.
Dengan KHGT, Muhammadiyah ingin menunjukkan bahwa penyatuan kalender dapat dilakukan tanpa memaksakan satu otoritas politik, melainkan melalui pendekatan keilmuan yang terbuka dan kolaboratif. (*)